Seruan Damai Indonesia dari Sumenep
Jika konlfik-konflik ini tidak segera diberiperhatian khusus dan diselesaikan, dikhawatirkan frekuensi dan tingkat konflik akan meningkat.
Penulis:
Y Gustaman
Editor:
Domu D. Ambarita

TRIBUNNEWS.COM, SUMENEP- Bertepatan dengan hari Valentine, seruan "Damai Indonesia" dikumandangkan dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Selasa (14/2/20120). Seruan muncul dalam seminar kebangsaan nasional berthema "Satu Bangsa, Satu Perdamaian, Satu Kesejahteraan".
Acara ini diselenggarakan Gerakan Ekayastra Unmada - Semangat Satu Bangsa (dari wartawan, oleh wartawan, untuk Indonesia) yang bekerja sama dengan Pemda Kabupaten Sumenep. Seribu orang lebih menghadiri seminar yang berlangsung di Pendopo Keraton Sumenep.
Hadir sebagai pembicara adalah KH Salahuddin Wahid (Ketua Gerakan Integritas Nasional), KH A Busyro Karim (Bupati Sumenep), I Gde Pradnyana (Kadiv Humas, Sekuriti dan Formalitas BPMigas), Sunudyantoro (Redaktur Politik Koran Tempo) dan Teguh Santosa (Pemred Rakyat Merdeka Online yang juga Wasekjen PP Pemuda Muhammadiyah). Seminar yang juga dihadiri wartawan media nasional dari Jakarta dan Surabaya ini dipandu Tri Agung Kristanto, Redaktur Politik dan Hukum Harian harian Kompas.
Dalam kata sambutannya, Ketua Gerakan Ekayastra Unmada Putut Prabantoro mengatakan, seminar tersebut dilatarbelakangi dengan banyaknya konflik horizontal dan vertikal di berbagai daerah.
Konflik-konflik yang ada bersumber pada perebutan batas wilayah otonomi daerah, perebutan sumber-sumber ekonomi, ketidakadilan, Pilkada, sentimen suku pendatang dan suku asli, dll. Jika konlfik-konflik ini tidak segera diberiperhatian khusus dan diselesaikan, dikhawatirkan frekuensi dan tingkat konflik akan meningkat.
Sejak diberlakukan, otonomi daerah meski dalam bungkus demokrasi secara tidak sadar dan mungkin tidak diakui adalah kembali bangsa Indonesia ke masa kerajaan-kerajaan ratusan tahun lalu mengingat pemekaran wilayah menggunakan wilayah kerajaan dulu.
Sebagai akibatnya adalah munculnya sentimen agama, kesukuan, rasial dan perebutan ekonomi. Sebagai akibat lebih lanjut adalah munculnya berbagai konflik di berbagai wilayah Indonesia.
Tercatat terkait dengan konflik perebutan batas wilayah, terdapat 945 kasus dan baru 90 kasus diantaranya yang diselesaikan. Kasus konflik perbatasan wilayah yang tercatat adalah perebutan Gunung Kelud antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri. "Saya tidak tahu, apa yang diperebutkan dari Gunung Kelud tersebut? Padahal jaman dulu hingga sekarang, Gunung Kelud termasuk gunung yang berbahaya," kata Putut Prabantoro.
Sumber konflik berdasarkan pada perebutan sumber-sumber ekonomi lebih parah dan bahkan ada korban yang menjadi taruhannya. Kasus Freeport Papua, Bima Sumbawa, Mesuji Lampung, Tiaka Sulawesi Tengah.
Kemudian kasus Kabupaten Rohul vs Kabupaten Kampar yang merebutkan lima sumur minyak yang ada di wilayah itu, kasus Pulau Padang - Kabupaten Meranti, Riau yang menolak kehadiran PT Riau Andalan Pulp & Paper, kasus Muara Badak dll. Sementara kasus terakhir terkait dengan konflik berbau SARA adalah di Kalianda. Lampung antara suku Bali dan suku Lampung.
Persatuan dan kesatuan Indonesia terancam dengan munculnya konflik-konflik ini. Karena itu, bangsa Indonesia termasuk para pemimpinnya harus segera disadarkan dengan kondisi yang memperihatinkan ini.
Menurut Putut, pemilihan Sumenep sebagai tempat seminar dilatarbelakangi peran daerah tersebut dalam sejarah panjang Indonesia. Tanpa Adipati Aria Wiraraja tidak akan pernah ada Kerajaan Majapahit yang melahirkan Indonesia dan juga tidak ada Gajahmada yang mempunyai ide mempersatukan nusantara meski dengan cara yang berbeda.
Secara de facto, Indonesia sudah kembali ke wilayah kerajaan-kerajaan dulu, adalah penting untuk mengambil "roh" persatuan dari Sumenep dengan Aria Wiraraja menjadi Adipati Pertamanya. (tribunnews/yogi)