Jalur Sungai jadi Sumber Debu Terbesar
kondisi berdebu di kota Sangatta kian hari semakin luas dan pekat?
Editor:
Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM SANGGATA -MENGAPA kondisi berdebu di kota Sangatta kian hari semakin luas dan pekat? Tribun mencoba menelusuri pertanyaan sederhana namun klasik nan kronik ini. Arahnya menelisik realita, akar masalah, sekaligus mencari solusi mengatasinya. Beberapa pihak dari berbagai latar belakang telah menyampaikan pandangannya.
Pakar ekonomi lingkungan yang juga Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, Ir Bernaulus Saragih, M.Sc, Ph.D, mengingatkan bahwa kota Sangatta lahir dan besar karena tambang. Ini adalah hal yang penting dicermati dari sisi historis pembentukan kota.
"Bila belakangan ada pandangan yang menuduh aktifitas pertambangan menjadi penyebab debu, maka tidak terlalu aneh. Karena kota ini awal mulanya memang merupakan wilayah tambang," katanya. Akan berbeda halnya dengan Samarinda, yang bukan dilahirkan dari aktifitas tambang, namun dikotori tambang. Berbeda pula dengan Bontang dan Balikpapan.
"Kota Sangatta besar dan tumbuh karena pertambangan. Maka kota ini identik sebagai kota tambang. Dalam hal ini, polusi, debu, dan pencemaran bukan sesuatu yang aneh sebagai kota tambang. Dan di berbagai kawasan di dunia, kota tambang memang seperti itu," katanya.
Pada perkembangannya, ketika ternyata Sangatta sudah menjadi ibukota kabupaten Kutai Timur, isu polusi udara dari tambang sepertinya dimerdekakan. Masyarakat yang tidak bekerja di sektor tambang mungkin komplain dan mengeluh. Namun masyarakat yang bekerja di pertambangan tentu terbiasa hidup dan dekat dengan debu.
"Ini memang kota tambang. Karena itu agak riskan mengkritisi perusahaan pertambangan terlalu jauh. Mereka sudah eksis jauh sebelum ada pemekaran kabupaten. Karena itu ketika Sangatta dipilih menjadi ibukota Kutim, harus siap dengan konsekuensinya sebagai kota tambang," katanya.
Namun pada perkembangannya, muncul standar kualitas hidup tertentu. "Kalau ingin bebas dari debu, tentu sulit dilakukan di kota tambang. Kecuali tidak ada lagi lalu lintas alat berat lewat di jalan kota," katanya.
Pada sisi lain, Sangatta juga terbelah oleh jalur jalan lintas wilayah. Selain tambang, ada pula kegiatan perekonomian yang lain. Seperti bongkar muat, dumping, atau pengurukan.
Dalam hal ini mobilisasi tanah dari tempat yang lebih tinggi (di daerah lain) menuju kawasan permukiman di Sangatta juga terbilang tinggi. Kedisiplinan kendaraan berat agar bisa masuk kota dalam keadaan bersih juga sangat berpengaruh. Karena itu, upaya memperketat kebersihan kendaraan, memperketat mobilisasi tanah, dan pembersihkan jalan perlu dilakukan.
Tentang rencana peningkatan produksi tambang, Bernaulus menilainya merupakan bagian dari proses aktifitas perusahaan yang wajar. Namun terkait debu, ia memberi catatan bahwa bukan efek blasting atau peledakan yang perlu dikhawatirkan. Ada yang lebih krusial.
"Yaitu mampukah perusahaan tambang menghambat atau membendung semua aliran air permukaan di kawasan tambang agar tidak masuk ke sungai. Hal ini tentunya akan mengakibatkan meningkatnya sedimentasi atau endapan lumpur. Hal ini bisa kita lihat di Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon," katanya.
Pada saat banjir, lumpur dari sungai masuk ke kawasan kota dan permukiman. Luapan dari sungai dan anak sungai yang masuk ke kota akhirnya menumpuk menjadi sedimentasi. Pada saat kering, jadilah endapan ini sebagai sumber debu.
"Lahan di Sangatta banyak berupa rawa dan rawan banjir. Sedimentasi yang naik ke jalan yang tidak dibersihkan ketika kering akan menjadi debu," katanya. Karena itu, ia menilai media yang lebih besar membawa debu alias sumber debu lebih banyak "membonceng" air dibandingkan udara atau angin. Yang dibawa air bisa sampai hingga ke laut. Sedangkan dari udara sepertinya memiliki radius yang tidak terlalu jauh.
"Oleh karena itu, bila produksi tambang ditingkatkan, yang juga merupakan kebijakan pemerintah pusat, perusahaan harus konsisten melaksanakan Amdal. Kalau Amdal dilaksanakan, pasti sungai-sungai