Jumat, 22 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Merenungi Makna Save Energy

Pada suatu sore di bulan Juli 2012, saya tengah berada dalam deretan sepeda motor dan mobil yang memadati jalan alias kemacetan di kota Medan

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Merenungi Makna Save Energy
ist
Ilustrasi bola lampu listrik

TRIBUNNEWS.COM - Pada suatu sore di bulan Juli 2012, saya tengah berada dalam deretan sepeda motor dan mobil yang memadati jalan alias kemacetan di kota Medan. Waktu itu saya berada tepat di pinggir trotoar jalan di bawah fly over atau jalan layang dekat terminal Amplas. Karena saking padatnya volume kendaraan saat itu, saya pun mencoba berdiri dari sepeda motor saya untuk melihat keadaan di depan. Ternyata jalanan saat itu benar-benar lumpuh. Untunglah saat itu hari sudah tak terlalu panas karena sudah pukul 17.30. Tiba-tiba saya jadi teringat seruan mengenai keselamatan bumi yang dikumandangkan di seluruh dunia yakni “Save The Energy”. Saya berpikir sejenak sambil melihat-lihat kendaraan yang ada di jalan waktu itu. Lalu saya coba menghitung dengan memperkirakan jumlah mobil dan sepeda motor ada. Dari penglihatan yang saya tangkap sepanjang jalan kira-kira 100 meter ke depan, saya perkirakan ada sekitar 100 mobil dan 150 sepeda motor, belum lagi becak motor, dan angkot. “ Luar biasa sekali jumlanya”, ucap saya dalam hati. “ Di satu potongan jalan saja, jumlah kendaraan sudah sebanyak ini, bagaimana dengan di jalan-jalan lain? Di pusat kota, di tempat-tempat perbelanjaan, di parkiran-parkiran gedung, dan lain sebagainya, bagaimana kalau seluruh kendaraan yang ada di kota Medan ini turun ke jalan? Ah sudahlah, itulah memang yang terjadi sekarang”.

Sesampai di rumah, saya mencoba membayangkan kembali tentang jumlah kendaraan yang ada di kota Medan. Saya pun mencoba hitung-hitungan. Saya anggap di kota Medan ada sekitar 250.000 mobil dan 350.000 sepeda motor. Itu baru kendaraan pribadi, belum termasuk becak dan angkot. Kembali lagi berpikir bagaimana jika seluruh kenderaan pribadi di Medan turun ke jalan? Betapa lumpuhnya jalan di kota Medan? Anggaplah panjang jalan kota Medan sekitar 200 kilometer, dimana setiap 100 meter-nya dipenuhi dengan 100 mobil dan 150 sepeda motor, maka jalan kota Medan hanya mampu menampung 200.000 mobil dan 300.000 sepeda motor, itu pun dengan kemacetan total. Mau dikemanakan mobil yang 50.000 lagi dan motor yang 50.000 lagi? Berati sudah pasti mustahil bagi seluruh kendaraan pribadi untuk turun ke jalan secara serentak. Bisa dikatakan terjadi “kiamat jalanan”!

Kemudian ada lagi. Jika sebuah mobil mengalami kemacetan dalam sehari mencapai 30 menit, dengan kecepatan maksimal 60 kilometer per jam, maka dalam 30 menit, sebuah mobil akan mengalami keterlambatan sepanjang 30 kilometer. Jika si pengendara mobil ingin berangkat kerja dengan jarak dari rumah ke kantor 30 kilometer, maka ia akan terlambat kalau ia berangkat 30 menit dari rumah. Setidaknya ia harus sudah berangkat 45 menit dari rumah. Kemudian saya coba kaitkan dengan masalah energi. Jika mobil sebuah menghabiskan satu liter bensin ( premium ) per 15 kilometer, dan masih dalam kondisi mengalami keterlambatan 30 kilometer dalam sehari, maka dalam sehari mobil tersebut kehilangan dua liter bensin sia-sia ( karena macet ).

Selanjutnya berangkat dari hitung-hitungan di atas, kalau misalnya dihitung tiap mobil (tidak termasuk sepeda motor, becak motor, angkot, dan kenderaan bermotor lain) di kota Medan yang turun ke jalan (misalnya 200.000 mobil) kehilangan bahan bakar sia-sia sebanyak dua liter sehari, maka sebanyak 400.000 liter bahan bakar habis percuma setiap hari. Saat ini harga bahan bakar ( premium ) adalah Rp 4.500 per liter, berarti uang sebanyak 1,8 miliar akan hangus dalam sehari.  Ini berarti 54 miliar dalam sebulan. Bagaimana dalam setahun? 648 miliar!

Kalau misalnya uang yang sebanyak itu dimanfaatkan untuk membangun prasarana seperti sekolah, puskesmas, dan lain-lain, berapa banyak bangunan yang bisa didirikan dalam jangka waktu lima tahun? Misalnya satu bangunan sekolah dasar membutuhkan biaya 10 miliar, berarti dalam tempo lima tahun, akan ada sedikitnya 300 bangunan sekolah baru yang bisa dibangun. Apalagi mengingat kondisi pendidikan di negeri ini yang begitu memprihatinkan. Padahal pendidikan adalah fondasi dasar sebuah bangsa dalam menghadapi peradaban dan perkembangan dunia.

Mungkin itulah mengapa bangsa-bangsa maju selalu menerapkan “Save The Energy”. Selain mampu menyelamatkan energi bumi itu sendiri, juga mampu untuk menyelamatkan hal-hal lain untuk pembangunan bangsa dengan uang yang tak disia-siakan. Pada akhirnya akan mendorong putra-putri bangsanya untuk terus menciptakan suatu inovasi dalam kehidupan. Penciptaan inovasi akan membawa sebuah bangsa pada suatu posisi yang disegani.

Kita bisa lihat bagaimana India, negara yang dulu dikenal sebagai negara dengan tingkat buta huruf yang tinggi, sekarang menjelma menjadi bangsa yang sangat melek teknologi. Ini fakta dan kita harus legowo menatap fakta ini. Belum lagi China, pertumbuhan ekonominya bagai roket yang siap mengejar dominasi Amerika Serikat. Bahkan pertumbuhan bangsanya sejalan dengan kemajuan olahraganya. Kita bisa lihat di Olimpiade London saat ini. Prestasi China luar biasa. Dan masih banyak lagi.

Nah, dari renungan di atas, mungkin sudah bisa kita bayangkan betapa majunya bangsa kita apabila seluruh masalah yang selama ini masih relatif belum dapat perhatian khusus dapat segera ditangani. Mulai dari kemacetan seperti yang diuraikan di atas sampai kepada masalah-masalah lainnya yang sebetulnya saling terkait dan mengait satu sama lain dan harus saling menopang. Mulailah dari kesadaran diri sendiri sembari kita berdoa kesadaran itu akan menjadi kesadaran yang massive yang pada akhirnya mampu membentuk kekuatan bagi bangsa kita.

Mungkin salah satu yang bisa kita renungkan adalah bagaimana cara kita menatap dunia. Ubahlah mindset kita selama ini yang relatif masih condong mengkerdilkan diri. Jadikan diri kita tidak hanya sebagai manusia Indonesia, tetapi sebagai manusia dunia. Bukan berarti untuk menanggalkan warisan dan budaya kita, tetapi untuk bersaing mengejar ketertinggalan kita, dengan tetap mempertahankan budaya kita.

Maju, Indonesia!

 TRIBUNNERS POPULER

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan