Rustam Syarifuddin Pakaya Pasrah Divonis Berapapun
Terdakwa korupsi pengadaan alat kesehatan kesatu itu masih mengobral senyum.
Penulis:
Y Gustaman
Editor:
Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rustam Syarifuddin Pakaya tak diselubungi beban menjelang penjatuhan putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Selasa (27/11/2012). Terdakwa korupsi pengadaan alat kesehatan kesatu itu masih mengobral senyum.
Di sela penantian putusan oleh hakim ketua Pangeran Napitupulu, Rustam mengaku sudah ikhlas berapa lama hukuman penjara yang akan diterimanya. "Karena saat ini kita hanya mengikuti apa yang sudah ditentukan-Nya," ucap Rustam.
Kehidupan, termasuk takdir dirinya yang harus menjadi terdakwa, kehendak Tuhan yang tak bisa ditolak. "Saya siap, karena saya toh hanya mengikuti apa yang sudah digariskan," ujar bekas Kepala Penanggulangan Krisis pada Kementerian Kesehatan era Siti Fadilah Supari.
Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Rustam lima tahun penjara dengan membayar denda Rp 250 juta, subsider enam bulan kurungan. Ia diminta membayar uang pengganti Rp 2,740 miliar, jika tak sanggup diganti tiga tahun bui.
Rustam membantah traveller cheque sebesar Rp 4.970.000.000 adalah fee dari perusahaan rekanan yang mendapat proyek alkes kesatu, sebagaimana tertuang dalam pledoi atau nota pembelaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (13/11/2012).
Rustam mengaku tidak mengetahui sama sekali adanya nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding, antara Indofarma Global Medika sebagai pemenang lelang proyek dan PT Graha Ismaya terkait proyek pengadaan alkes tahun 2007.
Menurut Rustam, pada 2006, memang Direktur Utama PT Graha Ismaya, Masrizal Ahmad mendatangi ruangan kerjanya tetapi tanpa undangan. Saat itu dia menceritakan betapa sulitnya mengeluarkan uang karena dipantau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pertemuan selanjutnya dengan Masrizal pada 2008. Saat itu Masrizsal datang tanpa undangan. Sehingga ia menolak disebut jaksa pernah meminjam uang atau Masrizal meminjamkan uang kepada Rustam. Karenanya,ia tak rela disebut mengarahkan supaya spek alkes sesuai yang dijual PT Graha Ismaya.
Apa yang dilakukannya bukan berdasar niat jahat melainkan hanya menjalankan perintah atasan, yakni Sekretaris Jenderal Departeme Kesehatan Syafii Ahmad, terkait pelaksanaan proyek pengadaan alkes.
Waktu itu, ia mengaku dipanggil Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ke ruangannya secara khusus, dan Syafii berada lebih dulu. Kemudian atasannya, Syafii selaku Sekjen, mengarahkan Rustam agar anggaran Rp 80 miliar dibagi dua jadi masing-masing Rp 40 miliar.
Ia berdalih, karena kebijakan yang dilakukannya berdasarkan perintah pimpinan, maka tak bisa dikatakan melanggar, yang dalam kasus ini dirinya menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran sekaligus sebagai pejabat Pembuat Komitmen.
Di akhir nota pembelaan, Rustam mempertanyakan kerugian negara dalam kasus ini. Ia mengutip hasil audit investigasi BPK pada 13 Juli 2011, tidak ditemukan kerugian negara dalam proyek alkes I. "Yang ada denda keterlambatan PT Indofarma Global Medika, dan itu sudahh dibayarkan.
Ia menuding, perhitungan kerugian negara versi juru bicara KPK Johan Budi SP sebesar Rp 6.8 miliar berbeda dengan keterangan penyidik yang menyebut kerugian negara senilai lebih dari Rp 22 miliar adalah manipulasi.
"Saya memohon kebijaksanaan sudilah kiranya majelis hakim dalam memutus perkara, mempertimbangkan hal-hal yang pernah saya lakukan," kata Rustam.