Hebatnya Kuliner Nusantara
PERHATIAN dan kecintaan kepada kuliner nusantara tidak akan pernah pudar.
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Andra N Oktaviani
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - PERHATIAN dan kecintaan kepada kuliner nusantara tidak akan pernah pudar. Tinggal bagaimana masyarakat bisa mengenal lebih jauh makanan-makanan khas nusantara dan mampu membuatnya.
Kecintaan itu pulalah yang membuat 20 tim dari 13 sekolah pariwisata berpartisipasi dalam kegiatan Food Festival and Competition di Dome Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB), Kamis (20/12/2012) siang.
"Melalui kegiatan ini kami ingin menyosialisasikan kuliner nusantara karena sebenarnya kuliner nusantara itu sangat hebat. Singapura, Thailand, dan Malaysia saja kalah soal kuliner. Kita kan punya banyak provinsi," kata Erik Fernanda Jaya, staf pengajar STPB sekaligus panitia kegiatan, kepada Tribun saat ditemui di sela kegiatan, kemarin.
Meski kuliner nusantara begitu kaya dan banyak ragamnya, Erik menyayangkan tidak sedikit juga yang hampir dan bahkan sudah punah. Hal itu, ucap Erik, dipicu oleh kenyataan bahwa popularitas hidangan itu sudah redup. "Jangan sampai lah terjadi yang seperti itu. Kita harus terus gali lagi," katanya bersemangat.
Menurut Erik, tangan yang paling pas untuk diserahi tugas mempromosikan kuliner Indonesia ke dunia adalah tangan para pemuda. Untuk itu, kegiatan food competition ini menjadikan pemuda sebagai peserta.
"Dengan cara ini, para pemuda akan mengenal kembali dan bahkan mencintai kuliner nusantara. Sekarang mungkin tidak banyak generasi muda yang kenal hidangan tradisional. Mereka malah lebih tahu fast food," ujar Erik.
Para peserta diminta menyiapkan beberapa hidangan nusantara, mulai hidangan pembuka hingga hidangan penutup, yang diambil dari menu-menu yang terdapat dalam buku The Heritage of Indonesian Culinary. "Para peserta diberi waktu selama dua jam untuk menyelesaikan hidangan mereka. Setelah itu dewan juri akan keliling untuk menilai," tuturnya.
Ada beberapa kriteria yang dinilai oleh dewan juri, yaitu persiapan, pengolahan, penyajian, dan mutu makanan. Bukan hanya soal rasa dan penampilan, nilai gizi yang terkandung dalam hidangan pun menjadi penilaian. "Resep dan cost production juga harus disediakan para peserta," katanya.
Seusai pengumuman pemenang, perasaan bangga tidak bisa disembunyikan dari raut wajah Dini (22), mahasiswi Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Sahid Jakarta, saat menerima piala juara 1 Food Competition. Kegembiraan serupa dirasakan tiga kawan setimnya, Dipa (17), Reza (18), dan Abi (22).
Juara 1 memang diakui mereka sudah menjadi target ketika memutuskan untuk mengikuti kompetisi yang diikuti oleh 20 tim itu. "Jauh-jauh dari Jakarta yah sudah pasti kami menargetkan juara. Dua hari kami tidak tidur terbayar juga dengan piala ini," ujar Dini saat ditemui seusai pengumuman pemenang sembari menunjukkan pialanya.
Setelah menyiapkan semua kebutuhan, kata Dipa, tim berangkat menuju Bandung sekitar pukul empat. Rasa kantuk yang luar biasa tidak menyurutkan semangat mereka. Bukan hanya rasa kantuk yang menjadi ujian bagi mereka. "Jadwal kami berempat yang kerap bentrok juga jadi tantangan tersendiri. Baru bisa kumpul bareng berempat itu yah tadi malam, sekitar jam 11, untuk mempersiapkan semuanya," tutur Reza.
Begitu kompetisi dimulai, tangan-tangan cekatan dari para chef muda itu langsung bergerak. Delapan jenis menu nusantara bisa mereka persiapkan dengan baik. "Kami membuat pepes tahu daging giling untuk appetizer. Sup udang asam pedas Sulawesi untuk sup. Nasi kuning, sate maranggi, perkedel kacang merah, dan sayur acar kuning sebagai main course. Dan getuk untuk dessert-nya," kata Abimemiliki tato, misalnya untuk gaya-gayaan atau bahkan menakut-nakuti masyarakat. Lalu, orang bertato pun diberi stigma preman.
Padahal, kata pria yang disapa Ucha, jika ditarik ke belakang, tato merupakan kekayaan budaya asli Indonesia. Ia menyontohkan beberapa suku di Indonesia, misalnya Dayak, yang mengartikan tato dari persepektif budaya.
"Tapi sekali lagi saya sadar kalau orang bertato masih dipandang sebelah mata," kata Ucha.