Perempuan Berburu Akik, untuk Apa?
Sekali waktu jika Anda berkunjung ke Kabupaten Bireuen, Aceh, Anda akan sering menjumpai rak-rak kecil dengan seorang pekerja di belakangnya
TRIBUNNEWS.COM—Sekali waktu jika Anda berkunjung ke Kabupaten Bireuen, Aceh, Anda akan sering menjumpai rak-rak kecil dengan seorang pekerja di belakangnya yang sibuk mengutak-atik sebuah barang. Sekilas tampilan ini persis reparasi jam tangan, namun keunikan tersendiri diketahui belakangan setelah kita mampir mendekati pedagang di sana.
Ternyata, itu adalah penjual batu akik atau lazim disebut batu cincin. Begitulah kesibukan dari pedagang yang tengah mempreteli ratusan batu-batu alam nan indah yang memiliki corak dan warna beraneka ragam.
Mudahnya menjumpai pedagang batu akik karena Bireuen memiliki sejumlah lokasi berupa sungai yang menyimpan bebatuan yang siap diolah menjadi batu bernilai tinggi. Kesohoran batu cincin Bireuen ini juga diakui oleh daerah lain hingga Sumatera Utara.
"Contohnya saat Anda pesan tiket bus dari Medan hendak pulang ke Bireuen, melihat cincin-cincin ini dibaris tangan sudah menyimpulkan tujuan pasti ke Bireuen sebut si petugas loket," ujar Syukri Ahmad, 45, warga Bireuen, Minggu (13/1/2013).
Kendati tak tahu persis sejak kapan dan mulanya batu cincin Bireuen kian dikenal, saat ini pemburu batu cincin kerap mengunjungi sejumlah sungai yang diyakini menyimpan batu alam berharga tersebut. Sebut saja di Sungai Krueng Shimpoe, Kecamatan Juli, Krueng Meeh, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Teupin Mane Kecamatan Juli, serta pinggiran laut Kuala Raja, Bate Timoh dan lain sebagainya.
Meski identik dengan pria, banyak perempuan di Bireuen yang memburu batu-batu ini untuk dijadikan perhiasan seperti gelang. Otomatis, pedagang mengasah kemampuan mereka tak hanya terbatas untuk mengikat cincin, melainkan juga gelang, kalung dan aneka aksesoris yang bisa digunakan pria dan wanita.
"Batunya memiliki banyak corak dan warna, saya memburunya untuk mainan perhiasan kalung emas," sebut Ratih, 39, seorang ibu rumah tangga.
Harga yang dibanderol pedagangpun bervariasi, mulai dari Rp 10.000 hingga jutaan rupiah tergantung jenis bebatuan langka atau tidaknya.
Warga Bireuen juga kerap membawa sendiri batu buruan mereka dari sejumlah sungai yang diketahui menyimpan batu alam indah. Selanjutnya dipoles sedemikian rupa oleh perajin.
Untuk pengolahan batu itu sendiri, perajin mematok ongkos mulai dari Rp 20.000 untuk model biasa alias simple, sampai dengan ratusan ribu untuk model tertentu dengan jenis batu tertentu pula. "Karena tidak semua batu gampang dan asal-asalan dibentuk. Kadang ada batu yang berisi dalamnya, kita usahakan tidak hancur dan terpecah," kata Muhammad, seorang perajin.
Menurut dia, prospek perajin batu cincin ini memiliki peluang usaha tersendiri mengingat banyaknya penggila batu cincin khususnya laki-laki.
Tak hanya warga Bireuen, Muhammad mengaku banyak warga luar Aceh juga yang menjadi pelanggannya selama ini. Selain mangkal di belakang Gereja Kota Bireuen, sejumlah perajin membuka lapak dagang di jalan kecil diantara ruas-ruas pertokoan kota. Hal itu memudahkan siapa saja serta dari kalangan mana saja untuk singgah membeli batu-batu tersebut.
Selain batu cincin, perajin juga menyediakan pengikat batu berupa cincin berbahan perak hingga emas putih. "Kalau dihiasi campuran emas putih dan bebatuan permata kecil di sekelilingnya, harga satu cincin bisa mencapai jutaan, tapi tak menjadi masalah bagi penyuka," tambah Muhammad lagi.
Hal itu turut diakui Syukri, pengoleksi batu cincin. Dia mengaku koleksi batu cincin plus cincin-cincin miliknya bertambah dalam waktu singkat. Padahal Syukri tak bisa memakai semuanya sekaligus. "Yang penting saya puas setelah mendapatkannya. Masalah jarang dipakai, tak jadi soal," katanya.
Kegilaan kaum laki-laki di kota berjuluk Segi Tiga Emas Aceh ini pula yang menggiring terbentuknya Asosiasi Pencinta Batu Akik Bireuen (ACIBA), beberapa tahun silam sebagai wadah perkumpulan pecinta batu alam yang tersimpan di bumi Bireuen tersebut.