Bupati Seram Bagian Timur Dilaporkan KOMITs ke KPK
Koalisi Masyarakat untuk Indonesia Transparans (KOMITs) berunjuk rasa di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koalisi Masyarakat untuk Indonesia Transparans (KOMITs) berunjuk rasa di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berada di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (13/2/2013). Puluhan aktivis KOMITs ini meminta KPK segera menangkap Bupati Seram Bagian Timur (SBT) Provinsi Maluku, Abdullah Vanath. Pasalnya, Vanath yang sudah berulang kali dilaporkan ke KPK oleh sejumlah elemen masyarakat terkait banyak melakukan penyimpangan dan kasus korupsi, masih belum diproses hukum.
Menurut juru bicara KOMITs Tommy DJ banyak dugaan penyimpangan dan kasus korupsi yang dilakukan Bupati SBT Abdullah Vanath. Dan beberapa di antaranya sudah dilaporkan ke KPK. Namun, sepertinya KPK tidak menindaklanjuti laporan-laporan tersebut. Terbukti, hingga kini kader Partai Demokrat tersebut masih aktif menjabat sebagai bupati dan seolah kebal hukum.
”Karena alasan itu, kami (KOMITs) meminta KPK lebih tegas menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat yang masuk. Jangan hanya kasus-kasus popular saja yang diproses,” ungkap Tommy.
Abdullah Vanath, dikatakan Tommy diduga terlibat dalam kasus korupsi dan gratifikasi sejumlah proyek APBD di kabupaten bertajuk Ita Wotu Nusa itu. Dugaan korupsi Vanath diduga bersumber dari penggunaan kas daerah dan gratifikasi sejumlah proyek APBD yang diberikan sejumlah rekanan di daerah itu. Dugaan tindak pidana korupsi Vanath antara lain penggunaan dana blokir senilai Rp 4.138.598.887 dari total dana blokir Rp 12.084.742.669 (APBD 2006) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Bagian Keuangan Sekretariat Daerah.
Laporan hasil pemeriksaan BPK RI Nomor: 01/HP/XIX.AMB/03/2008 tanggal 10 maret 2008, ditemukan anggaran senilai Rp 4.138.598.887 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain penggunaan dana blokir APBD 2006, Vanath juga diduga terlibat tindak pidana korupsi dana belanja tak terduga dalam APBD SBT Tahun Anggaran 2006 senilai Rp 1.635.328.419.
Laporan hasil pemeriksaan BPK RI Nomor: 01/HP/XIX.AMB/03/2008 berdasarkan arus keluar kas dari aktivitas operasi per 31 Desember 2006, buku perhitungan APBD Tahun Anggaran 2006 dan arus keluar kas dari aktivitas operasi per 31 Desember 2007, BPK menemukan lima kali pencairan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) senilai Rp 2.364.733.419 yang tidak sesuai peruntukannya, termasuk pencairan hanya menggunakan disposisi Bupati Abdullah Vanath sebesar Rp 1.635.328.419 dari total anggaran Rp 2.958.054.811.
”Padahal realisasi sebenarnya dari pencairan anggaran sebanyak itu hanya Rp 765.995.000. Dengan temuan tersebut, Abdullah Vanath harus bertanggung jawab karena patut diduga keterlibatan dirinya atas berbagai kebijakan terhadap program atau kegiatan proyek yang diaksanakan oleh SKPD-SKPD di SBT yang merugikan keuangan daerah,” papar Tommy.
Bahkan, Abdullah Vanath juga diduga melakukan korupsi anggaran pembangunan ibukota SBT di Hunimua. Sejak tahun 2011 dan 2012 pemerintah SBT telah mengaloksikan APBD SBT sebesar Rp 100 miliar untuk pembangunan ibukota SBT di Hunimua. Namun hingga kini tidak terlihat adanya pembangunan fisik di lokasi tersebut. Bupati SBT diduga telah melakukan korupsi dana tersebut dan pelanggaran ini harus diproses secara hukum.
”Jelas, dalam kasus ini Bupati SBT tidak mendukung Undang-Undang No. 40 tahun 2003 sebagai bentuk percepatan pembangunan Hunimua menjadi ibukota kabupaten SBT. Sebaliknya Bupati SBT malah melirik lokasi lain untuk dijadikan ibukota SBT,” urai Tommy.
Tak hanya itu, lanjut Tommy, diduga ada lima proyek yang diduga fiktif di Dinas Pertanian dan Kehutanan SBT. Masing-masing; Proyek Gerhan tahun 2005-2006 senilai Rp 3,3 milyar, proyek Dana Alokasi Khusus (DAK)-Dana Reboisasi (DAK/DR) yang dibiayai APBN senilai Rp 1,58 milyar, DAK/DR tahun 2007 dari APBN senilai Rp 1,8 milyar, proyek pembangunan sejuta anakan pala tahun 2006 dari APBD senilai Rp 545 Juta dan proyek yang sama pada tahun 2007 bernilai ratusan juta rupiah.
Selanjutnya, proyek fiktif yang dikelola Dinakertrans SBT bersumber dari APBN tahun 2009 melalui Kementerian Tenaga Kerja senilai Rp 6,6 miliar, proyek pengembangan wilayah tertinggal tahun 2009 senilai Rp 3,4 miliar dan proyek yang sama tahun 2010 senilai Rp 2,5 miliar. Selain itu, pembayaran rapelan kenaikan gaji 400 CPNS golongan III tahun 2009, terhitung SK April 2009 hingga saat ini tidak pernah diterima. Bahkan, ternyata DAK 2009 di Dinas Pendidikan SBT juga terjadi pemotongan terhadap 64 SD masing-masing berkisar Rp 25 juta-Rp 75 juta yang diduga instruksi dari orang nomor satu di SBT.