Rabu, 8 Oktober 2025

Gugatan Viktor-Marut Sudah Kadaluwarsa

Gugatan sengketa Pemilukada yang dilakukan paket cabup/cawabup Viktor Selamet-Hieronimus Marut selaku pemohon terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Ka

Penulis: OMDSMY Novemy Leo
zoom-inlihat foto Gugatan Viktor-Marut Sudah Kadaluwarsa
tribunnews.com/novemy leo
Tim Kuasa hukum KPUD Manggarai yakni Edi Danggur, Josephina A Syukur, Kamilus Elu, dan Tina Mariam, dan Flasianus Syukur, dalam sidang sengketa Pemilukada Manggarai di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta.

Viktor-Maut baru mengajukan keberatan ke MK tanggal 22 Juni 2010. Padahal seharusnya keberatan itu diajukan ke MK tanggal 16 Juni 2010 setelah KPU menetapkan pasangan calon tanggal 11 Juni 2010 lalu.

Demikian jawaban KPUD Kabupaten Manggarai selaku termohon dalam sidang sengketa Pemilukada Kabupaten Manggarai di Mahkamah Konsitusi (MK), Jakarta , Kamis (24/6/2010) sore. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim MK, Akil Mochtar didampingi hakim anggota MK Muhamad Alim dan Hamdan Sulfa.

Pihak termohon, KPUD Manggarai diwakili oleh tim kuasa hukumnya yakni Edi Danggur, SH,MM,MH, Josephina A Syukur,SH,MH, Kamilus Elu, SH dan Tina Mariam, SH dan Flasianus Syukur.

Sementara itu dari pihak pemohon, Viktor-Marut diwakili kuasa hukumnya yaitu Danggur Konradus,SH,MM,MH,  Petrus Jaru,SH, Mikael Marut, SH, Valetinus Jandut, SH dan Prili Suswarni Asita, SH.

Jawaban KPU dalam permohonan No 40/PHPU.D.VIII/2010 dibuat setebal 64 halaman namun tidak dibacakan dalam persidangan. Jawaban itu hanya diberikan kepada majelis hakim MK, pemohon dan pihak terkait. Dalam jawabannya, KPU menjawab dalil-dalil yang telah diajukan pemohon dalam gugatan yang sebelumnya telah dibacakan di persidangan, Selasa (22/6/2010) lalu.

Edi menjelaskan, sesuai ketentuan Pasal 4 PMK No 15/2008, tentang perubahaan kedua atas UU No 32/2004, tentang Pemerintah Daerah, ditegaskan bahwa objek perselisihan Pemilukada adalah hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya pasangaan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Namun, kata Edy, permohonan pemohon tidak menguraikan hasil rekapitulasi suara versi pemohon untuk dibandingkan dengan hasil rekapitulasi versi KPU. Pemohon justru menguraikan serangkaian dugaan pelanggaran hukum baik menyangkut DPT, dugaan penutupan TPS lebih awal, kampanye di masa tenang dan PNS yang berkampanye.

“Dugaan pelanggaran  hukum dimaksud bukan wewenang MK untuk memeriksanya. Oleh karena itu, majelis hakim MK berkenan menyatakan diri tidak berwenang memeriksa permohonan pemohon sehingga permohonan harus ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” kata Edi.

Pemohon juga telah salah menggugat KPUD karena permohonan dianggap error in persona sehingga patut ditolak setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

Menurut Edi, seharusnya pemohon menunjukkan hubungan antara fundamentum petendi dan petitum. Dalam salah satu petitum, pemohon minta keputusan KPU mengenai hasil rekapitulasi suara Pemilukada dibatalkan.

Namun dalam bagian fundamentum petendi, pemohon tidak dapat menunjukkan kesalahan perhitungan suara oleh KPU.  Dengan demikian permohonan pemohon itu gelap, tidak jelas dan kabur.

Menurut Edi, konstruksi permohonan pemohon juga menyalahi hukum acara Mahkamah Konstitusi. Pertama, permohonan harus bersifat voluntair artinya masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak dari pemohon. Maka yang dituntut merupakan kepentingan pemohon sendiri yang memerlukan kepastian hukum dan tidak boleh bersentuhan dengan hak dan kepentingan pihak lain.

Petitum permohonan harus bersifat declaratoir, yang menyatakan atau menegaskan sesuatu yaitu membatalkan rekapitulasi versi KPU dan sekaligus menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon.

“Tapi permohonan pemohon justru bersifat condemnatoir. Karena, ada petitum memerintahkan KPU untuk mendiskualifikasi pasangan calon Credo dan memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang,” jelas Edi.

Hal lain, petitum permohonan harus jelas, tegas dan bersifat enumeratif, semua butir petitum harus dirinci, tidak boleh diserahkaan pada kebijaksaan hakim. “Terbukti bahwa petitum permohonan pemohon melanggar prinsip dan dasar hukum acara MK, maka  permohonaan patut ditolak,” kata Edi.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved