Senin, 13 Oktober 2025

Pesona Tasmania di Tanah Kanguru

Bekas Penjara Jadi Harta Wisata

SATU di antara tempat tujuan wisata favorit di Hobart, Tasmania, adalah Port Arthur. Bekas penjara tua dengan segala

Editor: Anwar Sadat Guna

SATU di antara tempat tujuan wisata favorit di Hobart, Tasmania, adalah Port Arthur. Bekas penjara tua dengan segala kelengkapannya ini melegenda, karena kalau masih beroperasi tertutup dari dunia luar.

Bangunan Port Arthur tampak begitu megah dan besar. Halamannya luas dengan rerumputan hijau yang tumbuh tebal.

Di depannya ada samudera luas, dengan riak air kebiru-biruan. Bangunan Port Arthur begitu populer. Penjara yang digunakan menghukum tahanan dari daerah-daerah koloni Inggris.

Meski bekas penjara, namun bangunan ini terlihat indah dan cukup terawat. Apalagi di sekitarnya berdiri pohon-pohon ekaliptus besar, tinggi dan rindang.

Di bagian lain juga tumbuh pohon cemara yang menjulang ke angkasa.

Kendati demikian, sisa-sisa keangkeran masih terlihat dari tebalnya tembok penjara hingga jeruji-jeruji besi.

Ketika menghadiri konferensi internasional perubahan iklim dan lingkungan, sebagai penerima fellowship Australia Leadership Awards melalui Reporting Climate Change and Environment di Asia Pasific Journalism Centre (APJC), kami menyempatkan mengunjungi Port Arthur di Hobart, ibukota Tasmania, negara bagian Australia.

Tujuan utamanya, melihat dan membandingkan pengukuran sea level pada abad 19 dan era modern. Dalam kunjungan tersebut kami 16 jurnalis dari Asia Pasifik didampingi APJC Project Officer Alex Kennedy, Redaktur Lingkungan Harian The Age, Adam Morton, John Hunter dari Institute for Marine and Antarctic Studies University of Tasmania, dan Manager Arkeologi Port Arthur Dr David Roe.

Sejarah Port Arthur dimulai sekitar tahun 1830, ketika kawasan itu menjadi kawasan pabrik pengolahan kayu. Tiga tahun kemudian dijadikan penjara, bahkan pada tahun 1840 diperkirakan 2.000 orang tinggal di kawasan itu.

Mereka adalah narapidana, tentara, dan sipir. David Roe mengatakan, bangunan ini ditutup sebagai penjara pada 1877. Sejak itu bangunan semakin sering dikunjungi warga yang ingin tahu lebih dekat.

Di lokasi itu tak hanya ada penjara, ada juga gereja Kristen serta kapel Katolik, klinik, rumah sipir dan sebagainya.
Setelah ditutup, kini tiap tahun ada 250 ribu pengunjung datang ke Port Arthur.
Satu di antara penyebab mengapa bekas penjara itu menjadi favorit, karena dulunya tertutup.

"Jadi setelah dibuka orang ingin tahu ada apa sebenarnya di dalam bangunan ini," kata David Roe.

Menurut David Roe, sebenarnya para tahanan di penjara tak disiksa secara berlebihan. Namun untuk penjahat kelas kakap biasanya ditahan di ruangan pengab, kecil, dan tanpa sinar matahari.

"Bisa dibayangkan jika berhari-hari dikurung dalam keadaan seperti itu," kata David Roe.

Para tahanan itu selain menjalani hukuman juga dipekerjakan di tempat penggergajian kayu. Mereka menebang kayu di hutan di sekitar tahanan.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved