Perawat Indonesia Berharap Dukungan Tetap Pemerintah Jepang
Dari pemerintah Jepang sama sekali tak ada dukungan (support) setelah lulus
Laporan Koresponden Tribunnews.com di Tokyo, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Perawat Nasional dari Indonesia yang lulus dalam ujian nasional Keperawatan Jepang, Arief Junaedi (30) merasa program EPA (Economic Partnership Agreement) dengan Jepang masih ada kekurangannya yaitu setelah sang perawat Indonesia lulus dari ujian nasional keperawatan Jepang.
Dari pemerintah Jepang sama sekali tak ada dukungan (support) setelah lulus. Padahal perawat Indonesia merasa perlu adanya dukungan terus untuk bisa belajar lebih baik lagi dari Jepang mumpung berada di Jepang.
"Inilah kelemahan program EPA Perawat Indonesia-Jepang. Setelah kita lulus, sama sekali dilepas, tak ada dukungan apa pun lagi dari pemerintah Jepang. Padahal kita mau belajar lebih baik lagi, mau tahu lebih banyak lagi mengenai dunia keperawatan Jepang. Jadi akhirnya kita mencari-cari sendiri segala sesuatunya. Hal ini sebenarnya sudah pernah di usul kan oleh perawat Indonesia gelombang pertama yang lulus sebagai perawat, bahwa kita masih tetap butuh dukungan (support) untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keperawatan dan dunia medis di Jepang," ujar Arief khusus kepada Tribunnews.com beberapa waktu lalu.
Perawat kelahiran Probolinggo Jawa Timur ini pada saat belajar bahasa Jepang mempersiapkan diri menghadapi ujian keperawatan nasional tahun lalu mengakui mendapat banyak dukungan dari perawat dan dokter Jepang, "Terutama saat saya belajar di Universitas Kobe yang mengajar para dokter di sana, banyak sekali saya belajar mengenai keperawatan dan obat-obatan."ujarnya.
Kemudian belajar juga dari karyawan rumah sakit (bukan dokter bukan perawat). Bekerja empat jam dan dua jam belajar bahasa Jepang waktu itu, jelasnya lagi.
"Tetapi setelah ujian dan lulus, ya kita harus bekerja dan belajar sendiri, sama sekali tak ada bimbingan lagi dari siapa pun harus inisiatif sendiri semua," ungkapnya.
Selama empat tahun di Jepang menjadi perawat, dan mulai Awal Mei ini bekerja di Panti Jompo di Yokohama, mengakui banyak pengalaman menarik dan berharga diperolehnya.
Salah satunya bertemu dengan nenek orang Indonesia yang berusia sekitar 90 tahun tetapi sudah menjadi warga negara Indonesia.
"Dia memang orang Indonesia dan mengakui sendiri, tetapi ketika saya tanya nama Indonesianya, nenek itu tak mau mengungkapkannya. Nenek itu sangat baik sekali dan senang juga bertemu saya yang orang Indonesia. Rupanya bahasa Indonesianya masih tidak lupa walau sudah puluhan tahun lebih dari setengah abad meninggalkan Indonesia,"katanya.
Meskipun ada banyak rasa senang, Arief juga mengakui menemui rasa kesal juga terutama kepada perawat Jepang yang cemburu kepadanya karena lulus sebagai perawat nasional Jepang.
"Saya merasakan sendiri, setelah lulus sebagai perawat nasional Jepang, ada yang kelihatan cemburu tidak senang kepada saya. Tetapi tidak sedikit yang baik dan tetap menjadi kawan saya,"ujarnya.
Dicontohkannya, seorang perawat yang tidak senang kepadanya, selalu berbicara judes kepadanya, menekankan berkali-kali, "Kalau kerja yang benar dong yang teliti," katanya.
"Saya kadang bingung, orang itu kok bisa bicara begitu kepada saya. Padahal orang lain yang pernah mengajarkan saya saja tak pernah mengatakan demikian kepada saya," paparnya penuh kebingungan.
Meskipun demikian Arief tetap mencoba mencari hal yang positif dari semua orang. Dia tetap belajar untuk mengembangkan diri agar bisa menjadi perawat yang terbaik di jepang, termasuk penguasaan bahasa Jepangnya.