Kasus Sunagawa Dijadikan Pegangan Yurisprudensi Perubahan Pasal 9 UUD Jepang
Hasebe menduga hal ini sengaja diungkap pemerintah untuk membuat rancu masyarakat agar usulan peraturan hak bela diri kolektif dapat diterima.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Masahiko Komura, Wakil Ketua partai liberal (LDP) belum lama ini menyebutkan bahwa pembuatan peraturan baru untuk mengubah pasal 9 UUD--dengan rencana memperkenankan Jepang melakukan pertahanan diri kolektif--dapat menyandarkan kepada yurisprudensi yang terjadi tahun 1959, dimana Mahkamah Agung (MA) Jepang menyatakan sah Pakta Kerjasama Militer AS-Jepang dan penggunaan pangkalan udara Sunagawa, sebagai markas pangkalan militer Amerika di Jepang. Keputusan MA menganggap hal tersebut tidak melanggar UUD Jepang.
"Keputusan kasus Sunagawa tersebut, terkait pakta militer AS-Jepang, dan masalah saat ini mengenai rencana pertahanan diri secara kolektif, bukanlah dua kasus yang sama," kata ahli hukum konstitusi Jepang Prof Yasuo Hasebe baru-baru ini.
Kedua kasus tersebut jelas bertabrakan satu sama lain terutama mengenai prinsip fundamental pendidikan hukum.
Hasebe menduga hal ini sengaja diungkap pemerintah untuk membuat rancu masyarakat agar usulan peraturan hak bela diri kolektif dapat diterima masyarakat, dan sekaligus juga sebagai pertanda pemerintah sudah putus asa di dalam meyakinkan masyarakat agar mau menerima perubahan pasal 9 UUD tersebut.
Kasus Sunagawa
Tanggal 8 September 1951 Jepang membuat UU khusus mengenai Pakta Keamanan bersama AS-Jepang (anzen hoshojoyaku). Mulai efektif tanggal 28 April 1952. Masyarakat Jepang kaget dan menentang hal itu karena dianggap bertentangan dengan Pasal 9 UUD Jepang yang berjiwa perdamaian dan tak boleh ada keterkaitan militer apa pun. Kerja sama militer dengan AS dianggap masyarakat Jepang hal itu sudah mencemarkan Pasal 9 UUD Jepang.
Unjuk rasa pun mulai bermunculan, dan cukup besar mulai tahun 1955. Berjalan tak henti dan akhirnya puncak unjuk rasa terbesar terjadi tanggal 8 Juli 1957 di Pangkalan Militer Udara Amerika yang terletak di Sunagawa, Tachikawa, Tokyo Barat.
Pengunjuk rasa bahkan merusak, menjebol pembatas pagar pangkalan udara AS tersebut sehingga 23 orang pengunjuk rasa ditangkap. Setelah diinterogasi akhirnya hanya 7 orang saja yang ditahan dan dikenai hukuman berat tahun 1959. Hukuman bersalah dan denda 2.000 yen per orang.
Di lain pihak, tuntutan hukum masyarakat berjalan terus ke pengadilan negeri Jepang yang pada bulan Maret 1959 Pengadilan Negeri Tokyo memutuskan Pakta Pertahanan Bersama AS-Jepang bertentangan dengan Pasal 9 UUD.
Pemerintah saat itu kemudian membawa kasus tersebut bukannya banding ke Pengadilan Tinggi tetapi langsung kasasi, ke tingkat lebih tinggi lagi yaitu ke Mahkamah Agung. Desember 1959 Mahkamah Agung Jepang memutuskan terbalik, kerja sama militer AS-Jepang tidak melanggar UUD Jepang dengan dalih karena pangkalan militer AS itu milik AS bukan milik Jepang.
Campur Tangan Politik
Beberapa dokumen rahasia setelah habis masa kerahasiaannya, diperkenalkan kepada umum dan dapat membaca sendiri di Gedung Arsip Nasional Amerika. Terungkaplah bahwa setelah keputusan Pengadilan Negeri Tokyo yang memutuskan bahwa kesepakatan militer dengan AS melanggar UUD, tanggal 31 Maret 1959 Duta Besar AS di Jepang, Douglas McArthur II (keponakan Jenderal Douglas McArthur), mengirimkan telegram ke State Department Amerika.
Isinya, hasil pertemuan dengan Menlu Jepang Aiichiro Fujiyama. Isinya, bahwa McArthur II meminta Menlu Jepang itu agar membawa langsung kasus ke Mahkamah Agung (MA), tak usah ke Pengadilan Tinggi.
Telegram 24 April 1959 dari McArthur II ke Amerika menuliskan bahwa Ketua MA Jepang Kotaro Tanaka menjanjikan prioritas atas kasus tersebut.
Lalu telegram McArthur II lagi tanggal 3 Agustus 1959 menuliskan bahwa Tanaka melaporkan lagi ke McArthur II dan Tanaka berharap keputusan penuh serta bulat bisa diambil oleh 15 Hakim Agung Jepang saat itu agar tidak muncul perpecahan di tengah masyarakat Jepang dan masalah selesai tuntas.
Bukti-bukti telegram tersebut jelas sekali intervensi politik Amerika dan Jepang ke dunia hukum, khususnya ke Mahkamah Agung Jepang, yang seharusnya netral tak boleh tercemar intervensi mana pun juga.
Akhir Desember 1959 dari Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan bahwa Pakta Keamanan AS-Jepang tidak bertentangan dengan UUD Jepang. Implementasi keputusan MA tersebut lalu dikirimkan pihak MA ke Pengadilan Negeri Jepang agar dilaksanakan segera di masyarakat.
Kasus Minta Dibuka Kembali
Dengan terungkapnya dokumen rahasia Amerika Serikat tersebut, tiga orang yang pernah terhukum kasus Sunagawa dan seorang putri tertua dari almarhum terhukum kasus yang sama, akhirnya kini membuat petisi, memasukkan ke pengadilan negeri Jepang tanggal 17 Juni 2014 agar pengadilan membuka kembali kasus tersebut yang terbukti kini adanya campur tangan politik sehingga seharusnya keputusan MA dibatalkan.
Proses masih terus berlangsung hingga kini dan dalam proses pertimbangan di Pengadilan Negeri Tokyo.
Kasus Sunagawa tersebut dijelaskan Hasebe sangat beda dengan RUU untuk mengubah Pasal 9 UUD Jepang sekarang ini.
Dijelaskannya, bahwa kasus Sunagawa mengenai pertahanan diri di dalam negeri Jepang. Sedangkan RUU yang sekarang memaksakan agar pasukan Jepang dimungkinkan dikirimkan ke luar Jepang, bersenjatakan lengkap, untuk membantu pasukan Amerika Serikat seandainya diserang negara lain.
"Jelas hal yang sangat berbeda dan bertentangan," katanya.
"Kalau pasukan Jepang bertempur di luar negeri bersama pasukan Amerika Serikat, hancurlah Jepang ini dan Jepang akan jadi musuh baru kalangan muslim serta jadi sasaran baru terorisme internasional," kata pengacara senior profesional Jepang, Setsu Kobayashi.