Minggu, 21 September 2025

Selama Ditahan di Jepang, Dua WNI Hanya Boleh Mandi Lima Hari Sekali

Dua WNI yang ditahan di Jepang terhitung sejak 25 November hingga 15 Desember 2015 akhirnya menuturkan suka dukanya selama di tahanan.

Editor: Sanusi
Richard Susilo
Deni Daniel (49) dan adiknya Irfan Arizal (31), dua warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Jepang terhitung sejak 25 November hingga 15 Desember 2015 

Laporan Koresponden Tribunnews.com dari Tokyo, Richard Susilo

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dua warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Jepang terhitung sejak 25 November hingga 15 Desember 2015 akhirnya menuturkan suka dukanya selama di tahanan.

Deni Daniel (49) dan adiknya Irfan Arizal (31) yang sempat 20 hari ditahan terpisah, Deni di Shin Koiwa dan Irfan di tahanan polisi Kameari merasakan mandi hanya bisa sekali dalam lima hari.

"Kita tak boleh mandi setiap hari. Hanya sekali setiap lima hari sekali. Tapi makanan dapat dengan baik sesuai permintaan kita minta yang halal dan dipenuhi dengan baik, perlakuan polisi juga baik, kita dirawat dengan baik dapat tidur dengan baik pula di tahanan," papar Deni kepada Tribunnews.com, Minggu (20/12/2015).

Selain itu, dua WNI tersebut tak boleh mandi setiap hari, mencuci pakaian pun dikumpulkan. Hanya boleh cuci pakaian sekali dalam seminggu, "Jadi kita pakai celana dalam bolak balik, hahahaha," ungkapnya lagi tertawa mengenang masa di tahanan.

Kasusnya bermula setelah ketahuan Deni mengirimkan Scoop atau teropong senjata api laras panjang ke Indonesia ke berbagai tempat antara lain Wonosobo, Yogyakarta, Semarang dan ke Sumatera,

"Sekitar 10 kali sudah mengirimkan lewat EMS kantorpos. Saat kirimkan sekali dua kali sampai tiga kali sih ditanyakan. Lalu setelah itu lancar-lancar saja, kan mestinya tak ada masalah menurut saya karena pihak pos pun memperkenankan serta sudah sampai di Indonesia dengan baik pula, diterima si pemesan," jelasnya.

Namun entah bagaimana, "Mungkin ada orang Jepang yang tak suka sama saya melaporkan, tahu-tahu saya digerebek ditangkap polisi Jepang pada 25 November lalu, pagi hari sebelum berangkat kerja," katanya.

Tuduhannya karena pelanggaran valuta asing dan penjualan ekspor (perdagangan internasional) barang tersebut ke Wonosobo Indonesia tanpa surat izin dari kementerian ekonomi perdagangan dan industri (METI) Jepang.

Sebanyak 21 teropong dan 10 pisau komando disita kepolisian hingga kini.

"Padahal itu barang pesanan dan mereka sudah bayar. Pusing juga saya harus kembalikan uang mereka sekitar Rp 20 juta, karena barang sudah ditahan pihak kepolisian tak bisa kembali," jelasnya lagi.

Kini keduanya telah bebas dan minggu depan akan segera kembali ke Indonesia dengan tiket Garuda Indonesia yang dibeli.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) memang dua kali menengok kita, dan pada 4 Desember sudah diberitahu keluar, "Saya pikir dijemput KBRI ternyata tak ada yang jemput saat kita keluar 15 Desember lalu," ungkapnya lagi.

Namun diakuinya, KBRI sangat baik, menanyakan perlukah pengacara dan kebutuhan lain, "Saya bilang gak usahlah dulu, saya mau yang biasa-biasa saja karena saya juga tak tahu menahu mengenai hal ini dan malah belajar sekarang kalau ternyata ekspor itu meskipun barang bekas pun harus minta ijin ke METI rupanya," jelasnya lagi.

Pengalaman berharga ini diakuinya semakin membuka matanya mengenai Jepang yang penuh perizinan meskipun mereka berdua telah 8 tahun berada di Jepang, "Sebenarnya sebelum ditangkap pun kita sudah punya rencana Desember ini memang mau pulang ke Indonesia, eh malah ditangkap polisi. Yah takdir lah mas," lanjutnya lagi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan