Renyahnya Kicimpring Sunda Dari Kampung Babakan
KICIMPRING, penganan ringan tradisional Sunda yang terbuat dari singkong, sepertinya tidak pernah masuk kategori makanan yang ketinggalan zaman.
Editor:
Anita K Wardhani

TRIBUNNEWS.COM - KICIMPRING, penganan ringan tradisional Sunda yang terbuat dari singkong, sepertinya tidak pernah masuk kategori makanan yang ketinggalan zaman. Walaupun sejak dulu bahan baku pembuatannya sama, yakni singkong, bawang putih, bawang merah, daun bawang, cabai rawit, garam, dan penyedap, masyarakat tampaknya tidak pernah bosan menikmati kicimpring.
Minat masyarakat terhadap camilan renyah dan gurih yang tidak pernah surut inilah yang terus menghidupkan api di dapur produksi kicimpring. Bahkan, di Kampung Babakan Bandung, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, produksi kicimpring dilakukan oleh lebih dari 20 keluarga.
"Kampung kicimpring" ini terletak tidak jauh dari kawasan Punclut. Permukiman warganya dikelilingi oleh hamparan kebun sayuran, khususnya kebun cabai rawit, salah satu bumbu wajib untuk membuat kicimpring.
Di halaman rumah atau kebun warga, lumrah dijumpai jejeran nampan bambu besar berisi kicimpring yang tengah dijemur. Di depan tiap rumah, terdapat dapur khusus pembuatan kicimpring.
Di dapur kicimpring miliknya, Siti (33) membuat penganan ringan ini seperti pada hari-hari biasanya. Awalnya, Siti meletakkan tujuh genggam adonan kicimpring ke atas sebuah loyang bundar. Walaupun tidak menimbangnya terlebih dulu, ketika diratakan menggunakan alat, tujuh kicimpring mentah itu tampak sama besar.
"Saya membuat kicimpring sejak 1997. Jadi, sudah terbiasa. Begitu juga dengan 20 keluarga lainnya di kampung ini. Kicimpring dari kampung ini tebal dan besarnya akan sama. Disesuaikan dengan jenisnya," ujar Siti saat ditemui di dapurnya.
Setelah dipipihkan, adonan kicimpring diberi goresan menggunakan garpu. Ini ciri khas kicimpring, kata Siti, yang kemudian menelungkupkan loyang berisi adonan kicimpring itu di atas panci berisi air mendidih.
Dua menit kemudian, loyang panas tersebut diangkat dari atas panci. Siti pun langsung melempar loyang itu ke belakangnya. Walaupun Siti melempar loyang itu tanpa melihat ke belakang, loyang berisi tujuh adonan kicimpring itu mendarat sempurna di atas tumpukan belasan loyang lainnya yang lebih dulu dilempar ke atas meja.
Adonan kicimpring yang sudah lembek dan bersatu karena telah dikukus ini kemudian dipindahkan ke nampan bambu persegi berukuran besar. Selanjutnya, nampan bambu ini dideretkan di atas penyangga bambu untuk dijemur.
Dibutuhkan waktu seharian penuh untuk mengeringkan adonan kicimpring sehingga siap dijual. Itu kalau matahari terik dan cuaca tidak mendung, kata Siti. Saat musim hujan seperti sekarang, setidaknya dibutuhkan dua hari untuk mengeringkannya.
Setiap hari, Siti membuat kicimpring dari pukul 07.00 sampai 12.00. Setidaknya 100 kuintal singkong dan bumbu lainnya dia olah setiap hari. Singkong parut selalu dia dapatkan dari lima pemarut yang juga warga kampung tersebut.
"Satu kuintal singkong menjadi 30 kilogram kicimpring siap jual. Kalau dirata-ratakan, penghasilan saya dari membuat kicimpring ini Rp 30 ribu sehari. Lumayan untuk sekolahkan lima anak saya nanti dan biaya makan sehari-hari," kata Siti.
Eneng (31), juga perajin kicimpring, mengatakan satu-satunya kendala bagi perajin kicimpring di kampungnya adalah bahan baku singkong yang masih harus didapat dari Cililin, Garut, Subang, dan Purwakarta. Harganya pun kini mencapai Rp 1.600 per kilogram. Padahal, tahun 2000-an, harganya cuma Rp 1.000 per kilogram.
"Berbeda dengan minat masyarakat terhadap kicimpring yang makin meningkat, bahan baku malah susah didapat. Kami pun untungnya mendapat bantuan dari BJB dan Rumah Zakat berupa peralatan membuat kicimpring dan modal. Sekarang loyangnya bukan dari kaleng cat lagi," kata Eneng.
Setidaknya kampung kicimpring ini, kata Eneng, mengolah empat ton singkong dalam seminggu. Kicimpring dijual per kilogram berdasarkan jenis dan ukurannya. Mulai dari yang berharga Rp 12 ribu sampai Rp 20 ribu satu kilogram.
Para perajin kicimpring pun tidak kesulitan memasarkan hasil produksinya. Penyalur dari Pasteur, Punclut, dan sejumlah kawasan lainnya di Bandung, ujar Eneng, selalu datang setiap hari untuk membeli kicimpring dari kampung ini. Bahkan, kata dia, persediaan kicimpring di gudang selalu hampir ludes dibeli jika masuk musim hujan seperti sekarang.