Rimawan Pradiptyo: Koruptor Perlu Diberi Denda yang Besar Biar Kapok
Koruptor di Indonesia perlu di denda besar sekali biar kapok. Tujuannya agar untuk mencegah PNS dan penyelenggara
Editor:
Widiyabuana Slay
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo, Jepang
TRIBUNNEWS.COM - Koruptor di Indonesia perlu di denda besar sekali biar kapok. Tujuannya agar untuk mencegah PNS dan penyelenggara negara yang berkeinginan melakukan korupsi.
Itulah salah satu hasil penelitian Dr. Rimawan Pradiptyo yang Sabtu (16/11/2013), berlokasi di Universitas Tokyo, menyelenggarakan diskusi dengan judul "Korupsi di Indonesia: Kompleksitas, Potensi Penanganan dan Pencegahannya".
Diskusi tersebut bekerjasama dengan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Todai (Tokyo University) bekerja sama dengan PPI Kanto dipandu oleh Dr. Rimawan Pradiptyo, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, yang banyak menunjukkan hasil penelitiannya selama ini terkait dengan penangan korupsi di Indonesia.
Menurut Dr. Rimawan Pradiptyo yang perlu menjadi catatan dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia adalah perlunya dimasukkan biaya sosial dalam pemberian hukuman kepada koruptor. Tujuan dimasukkan biaya sosial tidak hanya untuk membuat jera koruptor, tapi juga untuk mencegah PNS dan penyelenggara negara untuk melakukan korupsi karena jika terbukti bersalah, koruptor akan dikenakan denda yang lebih besar dibandingkan jumlah yang dikorupsi.
Biaya sosial ini mencakup biaya eksplisit korupsi yaitu jumlah uang yang dikorupsi, biaya implisit korupsi yaitu biaya oportunita akibat korupsi, biaya antisipasi tindak korupsi, biaya akibat reaksi terhadap korupsi seperti biaya peradilan dan penyidikan.
Memasukkan biaya sosial ke dalam hukuman menjadi sangat penting, karena salah satu hasil penelitian Dr. Rimawan Pradityo menunjukkan bahwa hukuman denda untuk koruptor yang mengkorupsi uang negara di atas Rp 25 miliar sama dengan koruptor yang mengkorupsi uang negara dibawah Rp 1 miliar. Selain itu, uang pengganti yang dibayarkan koruptor kakap lebih besar dibandingkan uang pengganti yang dibayarkan oleh koruptor gurem yang mengemplang uang negara di bawah Rp 10 juta. Dari hasil penelitian tersebut, jelas bahwa koruptor besar jauh diuntungkan dengan sistem pemberian hukuman yang ada di Indonesia saat ini.
Namun begitu, ada berita baik dari hasil penelitian tersebut, yaitu semakin cepatnya proses pengadilan korupsi di Indonesia sejak KPK berdiri. Kasus korupsi yang ditangani KPK lebih lebih cepat 39,77 persen dibandingkan dengan kasus yang ditangani institusi penegak hukum lain.
Sejak KPK berdiri, proses pengadilan yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan secara signifikan lebih cepat 28,78 persen dibandingkan sebelum KPK ada. Hal ini mengindikasikan pengaruh positif dari kinerja KPK kepada seluruh aparat penegak hukum, baik KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Membahas fakta dan data mengenai kompleksitas penangan korupsi di Indonesia dengan pendekatan ilmiah merupakan hal baru yang membantu pelajar Indonesia di luar negeri dalam memahami dinamika penangan korupsi di Indonesia. Peserta diskusi mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi yang membawa perubahan baru yang positif bagi penangan korupsi di Indonesia yang sudah sangat akut.