Jika KPK Bisa Menerbitkan SP3, Maka Pola Pikir Masyarakat akan Rusak
Jika KPK bisa menerbitkan SP3, maka di masa depan pola pikir masyarakat Indonesia akan rusak jadinya.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dalam waktu dekat akan ada pemberian hak penerbitan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) atau surat penghentian perkara, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini akan merusak pola pikir masyarakat Indonesia.
"Revisi UU tentang KPK akan direvisi dan di masa lalu terjadi alot sekali tarik menarik kepentingan antara pihak Pemerintah dan DPR RI," kata Virgiani Rahayu Saraswati (44), Advokad, Konsultan Hukum, Aktivis Sosial dan Politik khusus kepada Tribunnews.com, Jumat (6/1/2017).
Virgiani merujuk kepada draft PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang) mengenai perubahan UU No.30 tahun 2002 tentang KPK.
"Saya tidak mengerti mengapa diberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penghentian penyidikan atas tindak pidana korupsi (SP3) maupun tindak pidana pencucian uang. Bukankah setiap kasus korupsi yang masuk ke KPK tentunya bersinergi dengan semua data dan informasi dari lembaga PPATK, BIN, serta lembaga teknis terkait lainnya yang mana telah terjadi kerugian negara di dalamnya," paparnya.
Kalau hal tersebut terjadi pada KPK, bisa menerbitkan SP3, maka di masa depan pola pikir masyarakat Indonesia akan rusak jadinya bahkan bisa muncul keinginan untuk membubarkan KPK.
"Padahal KPK harus kita jaga dengan baik diperkuat bukan diperlemah," kata dia.
Melihat perjalanan KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia sangat ironis, bahkan sempat terjadi kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK.
Draft PERPPU yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk dilakukannya penghentian penyidikan perkara korupsi dapat membuka peluang dihentikannya kasus penyidikan korupsi berskala besar.
"Apabila hal ini sampai terjadi maka tentu akan memicu kekecewaan publik kepada KPK dan bukan tidak mungkin rakyat akan meminta agar KPK dibubarkan," ujarnya.
Virgiani mempertanyakan apakah ini sebuah konspirasi atau design.
"Namun yang pasti hal ini akan membingungkan rakyat karena menggerus logika berpikir manusia. Ketika rakyat berharap hukum tidak lagi tumpul ke atas kemungkinan publik akan melihat dan mendengar keputusan penghentian penyidikan atas suatu kasus mega korupsi," kata Virgiani.
Kasus mega korupsi yang telah menyandera partai politik pemegang kekuasaan sesungguhnya telah menumbangkan partai politik sebagai pilar demokrasi.
"Sekaligus hal itu secara azasi merugikan masa depan karir politik keseluruhan kader-kader partai politik di dalamnya. Apakah dengan kewenangan KPK menghentikan kasus korupsi yang mendera setiap rezim penguasa merupakan remis dari suatu percaturan politik nasional?" ujarnya.
Mungkin saja ini terjadi karena semua saling tersandera dan memegang kartu truf masing-masing. Jika demikian, maka rakyat lah dirugikan.