Awang Faroek, dari Kasus Bukit Pelangi ke Saham KPC
Gubernur Kaltim Awang Faroek pernah diduga korupsi kompleks Bukit Pelangi senilai Rp 270 miliar. Kini, kasus saham KPC pun menyeretnya
Editor:
Iwan Apriansyah
Awang mempunyai gelar bangsawan dari Keraton Kutai dengan sebutan Ngebei Setia Negara. Dia lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 31 Juli 1948. dia adalah Gubernur Kalimantan Timur saat ini, periode 2008-2013 berpasangan dengan Farid Wadjdy.
Sebelumnya Awang menjabat sebagai Bupati Kutai Timur pertama sejak pemekaran Kabupaten Kutai berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999. Kemudian pada saat maju untuk pencalonan Gubernur Kalimantan Timur, tahun 2003, ia mundur dari sebagai Bupati Kutai Timur, digantikan oleh Wakil Bupati, Mahyudin.
Gagal menjadi gubenur karena kalah melawan Soewarna AF, maka saat Pilkada Kutai Timur, 12 Desember 2005, Awang dipilih oleh rakyat dan kemudian kembali menjabat Bupati Kutim sejak pelantikan 13 Februari 2006 sampai tahun 2011.
Tetapi ia mencalonkan kembali menjadi Gubernur
Kalimantan Timur untuk kedua kalinya tahun 2008 dan akhirnya terpilih di putaran II dan dilantik pada 17 Desember 2008. Tahun 2008, kursi
kepemimpinan Bupati Kutai Timur diserahkan kepada wakilnya, Isran Noor.
Menilik dari perjalanan kariernya, pastilah Awang bukan tokoh kacangan.
Dia mempunyai begitu banyak reputasi nasional, sebelumnya juga pernah
menjadi wakil rakyat di DPR RI. Oleh karenanya begitu lengkap dia punya
jaringan dan pengalaman dalam berorganisasi terutama untuk urusan
publik.
Politik memang kejam, sering menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Tetapi bagi politisi berpengalaman, itulah sebuah fakta. Siapa
saja mampu dan mempunyai power, maka dia akan menang.
Akhir 2007, menjelang digelar Pilkada Provinsi Kaltim, terembuslah isu
kuat bahwa Awang diduga terlibat korupsi pembangunan kompleks perkantoran
Pemkab Kutai Timur, Bukit Pelangi yang menelan dana Rp 270 miliar.
Sudah beberapa kali muncul berita bahwa Kejaksaan Agung memeriksa
dirinya terkait dugaan itu. Dia menyatakan bahwa pembangunan Kompleks
Perkantoran Bukit Pelangi merupakan kasus lama dan sebenarnya sudah
selesai tujuh tahun lalu.
Persoalan ini pernah diteliti Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) maupun BPKP tahun 2002/2003 yang tidak menemukan ada
kerugian dan unsur tindak pidana korupsi.
Tuduhan itu bermula ketika pada tahun 1999, Awang Faroek selaku Bupati
Kutim meminjam dana dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) senilai Rp 270
miliar. Jaminan dalam pinjaman itu adalah APBD Kutim. Pembayarannya pun
dilakukan secara mencicil setiap tahun yang menggunakan APBD. Pinjaman
itu telah lunas dibayar 4 Mei 2007.
"Saat ini, nilai Kompleks Bukit Pelangi sudah mencapai Rp 1,3 triliun,"
katanya. Dia menambahkan bahwa Kejaksaan Negeri (kejari) Sangatta dan
Kejaksaan Tinggi Kaltim telah menindaklanjuti kasus ini bahwa
berdasarkan keterangan saksi-saksi tidak ditemukan kerugian dari APBD
Kutim.
"Itu ada surat keterangan resminya dari Kejati Kaltim. Kalau sekarang
dibongkar lagi, seperti kaset baru lagu lama. Saya yakin kalau ini
dibongkar surat Kejati akan menjadi rujukan. Kita yakin Kejagung
proporsional dan profesional," katanya.
Awang Faroek menyatakan siap dipanggil KPK maupun Kejagung terkait
tuduhan yang kembali dicuatkan di tengah persiapannya menghadapi Pilkada
Gubernur Kaltim periode 2008-2013.
Rekayasa dari mencuatnya kembali tuduhan itu, kata Awang, terlihat dari
munculnya aksi unjuk rasa beberapa pemuda di Jakarta.
Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, tidak ada
nuansa politis di balik pengambilalihan sejumlah kasus dugaan korupsi di
daerah, termasuk kasus korupsi APBD Kabupaten Kutai Timur yang
melibatkan Awang Faroek.
Saat itu, Hendarman menyatakan pengambilalihan didasarkan pertimbangan
murni yuridis. "Pengaduannya memang ada dan ditindaklanjuti Kejaksaan.
Tidak ada kepentingan politis," kata Hendarman, Desember 2007.
"Yang bisa menolong adalah alat bukti yang melekat pada perkara ini,"
jelas Hendarman. Di tempat sama, JAM Pidsus Kemas Yahya Rahman mengaku
akan melengkapi alat bukti yang telah dikumpulkan. Tim penyidik juga
telah memiliki daftar saksi yang akan diperiksa, termasuk Awang Faroek.
Tetapi kemudian perkara ini menjadi tidak jelas. Apakah Awang Faroek
yang benar atau Kejaksaan Agung yang cuma bisa omong doang. Buktinya, kasus Bukit Pelangi kemudian hanya sekadar menjadi sejarah tanpa bekas, tanpa sebuah keputusan hukum dan dibiarkan begitu saja. Awang tak
tersentuh oleh hukum dugaan korupsi itu.
Tiba-tiba, 9 Juli 2010 lalu, Kejaksaan Agung merilis sebuah berita yang
menusuk Awang untuk kedua kalinya, dengan dugaan terlibat korupsi dana
penjualan 5 persen saham KPC
sebesar Rp 576 miliar yang tidak jelas juntrungannya.
Sekali lagi, sama dengan kasus Bukit Pelangi, apakah predikat sebagai
tersangka untuk Awang Faroek ini juga akan mengalami nasib serupa, yaitu
tidak pernah ada kesimpulan hukum dari Kejaksaan Agung?
Kalau ini terjadi, memang harus ada perlawanan hukum untuk Kejaksaan Agung, karena lembaga ini akan menjadi senjata pembunuhan karakter entah untuk kepentingan siapa. Kalau ini terjadi, memang berbahaya! (*)