Kisah Siswa SD di Garut yang Bertengkar Hingga Satu Tewas, Teman Satu Meja dan Masih Keluarga
Warga Kabupaten Garut dihebohkan oleh kasus pembunuhan terhadap anak-anak yang dilakukan juga oleh anak-anak.
Editor:
Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, GARUT - Warga Kabupaten Garut dihebohkan oleh kasus pembunuhan terhadap anak-anak yang dilakukan juga oleh anak-anak.
Mirisnya peristiwa itu terjadi di hari anak anak nasional dan Kabupaten Garut baru dianugerahi penghargaan kabupaten layak anak oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Susana Yembise pada Senin (23/7), di Surabaya.
Seorang murid sekolah dasar (SD) di Kecamatan Cikajang, tewas pada Minggu (22/7), setelah ditusuk teman sebangkunya sehari sebelumnya.
Penyebab kematian korban karena alasan sepele. Korban berinisial FDL (12), dituduh oleh terduga pelaku berinisial MH (12), menyembunyikan salah satu buku pelajaran yang hilang pada Jumat (20/7).
Kecurigaan MH semakin kuat karena buku pelajaran yang hilang itu ditemukan kembali di bawah bangku keesokan harinya.
FDL dan MH sempat berkelahi di belakang gedung sekolah. Namun perkelahian itu berhasil dilerai oleh teman-temannya.
Setelah berhasil dilerai, kemudian FDL bersama rekan-rekannya bergegas pulang ke rumah masing-masing melintasi jalan di belakang sekolah.
Namun saat di perjalanan menuju rumahnya di Kampung Barukai, Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang, FDL dibuntuti oleh MH dan langsung saja menikam menggunakan gunting di bagian belakang kepala.
Kapolres Garut, AKBP Budi Satria Wiguna menuturkan MH mencurigai FDL menyembunyikan buku karena menjadi teman sebangkunya.
Sepulang sekolah pada hari Sabtu (21/7), MH menghampiri FDL dan terjadi selisih paham.
"Keduanya lalu berkelahi di Kampung Babakan Cikandang, Desa Cikandang di belakang sekolah. Saat berkelahi MH kalah oleh FDL."
"Secara spontan, MH mengambil gunting dan menusukkan ke FDL di bagian belakang kepala dan punggung," ujar Budi di Mapolres Garut, Selasa (24/7).
Gunting yang digunakan oleh MH, lanjutnya, dibawa karena murid kelas VI SD pada hari itu melaksanakan pelajaran seni rupa.
Guru mewajibkan para murid untuk membawa kertas warna, gunting, karton, dan lem. FDL yang bersimbah darah kemudian dilihat oleh seorang warga yang melintas. Korban lalu dibawa ke Puskesmas pembantu Cikandang.
"Korban lalu mendapatkan pengobatan di Puskemas. Luka akibat tusukan gunting itu mendapat dua jahitan. Saksi yang membawa ke Puskesmas lalu menyerahkan korban ke pihak sekolah. Guru di sekolah lalu memberitahu keluarga korban," katanya.
Dari hasil keterangan, tambah Budi, korban dan pelaku masih memiliki hubungan saudara.
Menurutnya, keluarga korban tak melapor atas kejadian tersebut. Meski begitu, pihaknya masih melakukan penyelidikan atas kasus tersebut.
Keluarga korban penusukan, menginginkan masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Ayah korban, Feri (38), mengatakan atas kejadian tersebut, dirinya merasa terpukul karena ditinggal selama-selamanya oleh anak sulungnya tersebut.
"Orangtua mana yang tidak sedih ketika mendapat kabar, anaknya meninggal, tapi saya sudah ikhlas," kata Feri di kediamannya di Kampung Barukai, Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang.
Kendati terpukul atas kejadian tersebut, pihaknya telah membuat surat perjanjian dengan keluarga MH untuk menyelesaikan secara kekeluargaan.
Ia tak mau menuntut apapun dan menganggap kejadian yang menimpa anaknya sebagai musibah.
"Keluarga saya dengan keluarga MH juga masih ada ikatan keluarga. Jadi saya ingin menyelesaikan secara kekeluargaan," ucapnya.
Menurutnya, terduga pembunuhan pun masih berusia di bawah umur dan tidak sepantasnya mendapatkan hukuman seperti orang dewasa.
Saat FDL menjalani perawatan di rumah sakit, orangtua MH juga ikut mendampingi.
Feri menambahkan, ia mendapat laporan jika anaknya ditikam oleh MH sekitar pukul 12.00 oleh teman sekelasnya.
Setelah mengetahui kabar tersebut, kemudian Feri bersama istrinya Tuti Atmawati (32), segera mendatangi lokasi kejadian dan melarikan FDL ke Puskesmas Cikandang.
Anaknya tersebut kemudian mendapatkan pertolongan pertama oleh pihak puskesmas berupa jahitan di bagian kepala. "Kondisi anak saya sudah setengah sadar," ujarnya.
Setelah mendapat pertolongan pertama di Puskemas, kemudian FDL dibawa oleh pihak keluarga ke kediamannya.
Namun pukul 15.00, FDL mengalami muntah-muntah dan sempat mengalami kejang, selama beberapa menit. Saat diperiksa, banyak ditemui luka lebam di bagian punggung, wajah, dan pinggang.
Melihat kondisi FDL semakin mengkhawatirkan, dirinya melarikan FDL ke salah satu klinik IGD yang berada Cikajang.
"Waktu dibawa ke klinik, kondisi anak saya belum sadar juga. Ya sudah kami bawa kembali ke rumah," katanya.
Keesokan harinya pada pukul 10.00, FDL kembali mengalami kejang hingga keluar busa bercampur darah. Panik melihat kondisi anaknya ia kembali membawa FDL ke klinik IGD.
"Namun di perjalanan anak saya sudah tidak bernyawa. Saya lalu membawa kembali anak saya ke rumah. Saya juga menolak autopsi karena sudah menerima kematian anak saya," kata Feri.
Feri menuding kejadian yang menimpa anaknya karena kelalaian pihak sekolah. Pasalnya pihak sekolah membiarkan murid membawa benda tajam saat jam pelajaran.
Ia menuntut agar sekolah melarang murid membawa benda tajam ke sekolah.
"Akibatnya, anak saya yang menjadi korban dan seakan-akan sekolah tutup telinga. Jangan sampai ada korban lagi. Sekolah harus jadi tempat aman," ujarnya.
Wawan Sopian, kepala sekolah tempat MH dan FDL belajar mengatakan peristiwa itu terjadi di luar jam pelajaran.
Menurut Wawan, selama di sekolah FDL dan MH merupakan kawan baik. Ia pun tak pernah melihat keduanya terlibat perselisihan.
"Normal-normal saja, tidak suka marah-marah baik MH atau FDL. Waktu kemarin (Sabtu) itu, anak-anak disuruh bawa gunting untuk bikin prakarya," ucap Wawan.
Pihak sekolah, tambahnya, akan melarang para murid membawa benda tajam ke sekolah. Untuk sementara, pihaknya memberikan sanksi kepada MH untuk tak belajar di sekolah selama proses penyelidikan. (Tribunjabar/firman wijaksana/hakim baihaqi)