Adimas Tampil di Emerging Writers' Festival 2016
Penyair muda Indonesia Adimas Immanuel diundang tampil dalam Emerging Writers\' Festival di Melbourne, Australia. Penyair kelahiran…
Penyair muda Indonesia Adimas Immanuel diundang tampil dalam Emerging Writers\' Festival di Melbourne, Australia. Penyair kelahiran Solo tahun 1991 ini menyatakan dunia puisi di tanah air semakin marak dengan teknologi komunikasi yang meluaskan daya jangkau dan daya pukau puisi.
"Saya menulis sejak SMP," ujar Dimas kepada Farid M. Ibrahim dari ABC Australia Plus yang menemuinya di sela-sela festival, Rabu (22/6/2016) malam.
"Awalnya hanya buat cinta-cintaan begitu, tapi akhirnya saya melihat ada yang lebih serius dari situ," tutur penyair yang kini telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisinya, salah satunya di terbitkan di Malaysia berjudul, Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali.
Dimas mengaku terus belajar dan belakangan bertemu dengan penyair lainnya. "Saya ketemu Aan (Mansyur) dan penyair lainnya, membaca karya mereka lalu saya memutuskan jadi penyair," katanya.
Kumpulan puisi Dimas adalah Pelesir Mimpi (Katabergerak, 2013) dan Di Hadapan Rahasia (GPU, 2016). Sebelumnya, puisi-puisi Dimas bersama penyair lainnya diterbitkan dalam kumpulan puisi berjudul Empat Cangkir Kenangan (Serba Indie, 2012).
Kemunculannya dalam perpuisian Indonesia antara lain ditandai dengan masuknya nama Dimas dalam daftar (longlist) calon peraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2014 serta daftar (shortlist) Indonesian Readers Award.
Bagaimana ceritanya Anda bisa diundang ke Melbourne?
Tahun lalu saya terpilih diundang ke Ubud Emerging Writers\' Festival. Nah dari situ, saya juga tidak tahu apa pertimbangan panitia, hanya saja memang ada beberapa nama yang diusulkan untuk berangkat ke sini.
Setelah itu saya diminta mengirimkan karya berbahasa Inggris dan kebetulan saya punya beberapa naskah puisi dalam Bahasa Inggris. Lalu ada wawancara dengan panitia.
Apa saja aktivitas Anda dalam festival ini?
Saya tampil di dua sesi. Yang pertama namanya poetic practice. Di sini, penyair dari setiap negara membahas apa relevansi puisi dalam konteks sekarang di negara masing-masing. Jadi menceritakan proses keseharian, misalnya sebagai penyair apa yang dilakukan.
Terus dalam sesi itu yang lebih dibahas, mungkin karena saya dari Jawa, mereka lebih ingin tahu secara etnisitas. Saya tampil sama penyair dari daerah Aborigin, sama penyair dari Melbourne yang keturunan Lebanon. Jadi temanya lebih ke etnis.
(Dalam sesi yang berlangsung Sabtu 18 Juni 2016 di ruang konferensi Perpustakaan State Library Victoria, Dimas tampil bersama Omar Sakr, Zoe Dzunko, serta Alison Whittaker).
Terus sesi satunya hanya berupa poetry reading.
(Sesi baca puisi ini berlangsung Rabu 23 Juni di salah satu galeri. Dimas tampil bersama Soreti Kadir, Alice Skye, Joelistics, Emily Lubitz, Birdz, James Teague, LANKS, dipandu oleh Jen Cloher).
Selain di kedua sesi itu, Dimas juga terlibat dalam kegiatan exchange dan mengunjungi daerah Anglesea di pinggiran Kota Melbourne.
Di sana, dia bertemu penyair Australia yang juga emerging writer meski usianya telah 60 tahun. "Namanya Mark Smith, dan dia tampil di sesi yang temanya kira-kira, emerging boleh walaupun usia sudah tua," kata Dimas.
Bagaimana Anda melihat puisi Indonesia saat ini?
Dalam forum itu juga saya membahas puisi indonesia yang sekarang jauh lebih modern. Konteksnya, pasar puisi jauh lebih luas, lebih cair juga, tema yang dibahas jauh lebih banyak. Tapi tetap ada muatan-muatan di situ, misalnya situasi politik.
Sama seperti yang Aan Mansyur bilang, bahwa puisi itu sebenarnya alat pikiran, alat untuk menyampaikan sesuatu dengan cara yang lebih bisa diterima. Kita bisa menyampaikan tema-tema seperti cinta tapi itu hanya layer pertama, layer muka.
Dengan teknologi komunikasi teks sekarang cepat menyebar dan puisi punya sisi positif juga karena kalau cerpen dan novel kan lebih panjang. Nah puisi itu jadi jembaran pertama yang menjadi trigger orang untuk mencintai sastra.
Mungkin yang mereka lihat hanya kuitpan-kutipan sederhana. Tapi ada komunitas yang menyebarkan kutipan-kutipan itu.
Saya tidak besar dari komunitas penyair, melainkan hanya mahasiswa biasa saja yang kuliah ekonomi. Saya tidak terikat dengan komunitas tertentu. Saya diundang ke festival seperti ini tentu jadi motivasi. Otomatis saya ingin membuktikan. Dan efeknya untuk anak-anak muda di sekitar saya yang melihat, mereka akan menilai, oh ada kemungkinan untuk penulis muda bisa tampil.
Dalam salah satu puisinya berjudul Di Hadapan Rahasia, Dimas menulis:
"Masihkah kita harus bersengketa ketika hari hampir habis dan doa hanya menjadi ritus ala kadarnya sementara daun-daun tak sekali pun menebak ke mana angin akan meniupnya.
Seperti kita manusia, yang amat kecil di hadapan rahasia, yang tak sepenuhnya berkuasa atas jatuh-bangun kita."
Kini Dimas menetap di Jakarta dan bekerja sebagai copy writer di salah satu perusahaan public relations sembari menempuh pendidikan S2 bidang kebijakan publik di Universitas Indonesia.