Warga Tak Berpenghasilan Malah Tidak Dapat, Skema Bansos COVID-19 Diminta Diubah
Pengamat mengatakan bantuan sosial rentan dikorupsi, sementara warga tidak berpenghasilan, seperti Hanif yang menjual tisu harus melihat…
Muhammad Hanif yang bekerja sebagai penjual tisu di lampu merah kota Medan merasa terbantu dengan adanya pemberian uang tunai dari Kementerian Sosial sebesar Rp300 hingga 600 ribu.
Namun, bantuan yang ia terima tidak bertahan lama.
Tiga hari yang lalu, Hanif yang tinggal dengan ibunya yang lumpuh karena penyakit Parkinson, mendengar kabar jika namanya tidak lagi tercantum dalam daftar penerima bantuan sosial.
"Tidak tahu menahu kenapa," kata Hanif, yang mengatakan bahwa bantuan uang tunai tersebut "membantu walau tidak seberapa".
"Istilahnya, saya menerima apa adanya, seperti uang \'pampers\' mama saya, karena beliau sudah tidak bisa apa-apa, jalan pun tidak bisa."
Ketika masih sehat, ibu Hanif, yang bernama Ratna, mengandalkan pendapatan dari bisnis warungnya.
Namun, sejak tiga tahun yang lalu, ia hanya dapat terbaring di atas kasur dan harus mengandalkan pendapatan anaknya untuk bertahan hidup.
Kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia, Hanif mengaku jika pendapatannya sudah "tidak cukup" bahkan sebelum pandemi COVID-19 dan kini semakin menurun.
"Berpengaruh sekali pandemi ini, biasanya target saya bisa menjual lima sampai enam bungkus tisu, tapi sekarang hanya dua bungkus."
Menurut pria berusia 39 tahun tersebut, bantuan dari pemerintah saat ini "tidak tepat sasaran" karena hanya diberikan kepada "orang yang berada".
Sebanyak 82 persen penerima bansos di Jakarta juga menyatakan jika pemberian uang tunai adalah jenis bansos yang ideal, seperti dijelaskan Misbakhul dari lembaga FITRA.
"Bantuan sebaiknya tidak dalam bentuk barang, tetapi berupa tunai, cash-transfer ke masing-masing rekening penerima," katanya.
"Jadi data yang ada diverifikasi terlebih dahulu, kemudian ditambahkan dengan data nomor rekening, pemerintah kemudian bekerja sama dengan bank menyalurkan dana bansos ini."
Alamsyah dari Ombudsman RI mengatakan modus korupsi yang menjerat Juliari Batubara sangat mungkin terjadi di kementerian mana saja.
Ia mengatakan salah satu alasannya adalah karena tidak ada pembangunan sistem pengawasan internal yang bisa menjadi alat pendeteksi dini praktik korupsi.
"Memang sih, pembangunan sistem memang nggak seheboh pembangunan infrastruktur. Tapi bisa menyelamatkan banyak uang negara."
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.