Kamis, 2 Oktober 2025

Regulasi Masih Bolong, Pemerintah Diminta Larang Praktik Predatory Pricing Ojek Online

Dua peraturan Kementerian Perhubungan belum mengatur sama-sekali tentang tarif promosi.

Editor: Choirul Arifin
Tribunwow/kolase
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Praktik predatory pricing di bisnis transportasi ojek online di Indonesia kini dinilai sudah mengkhawatirkan yang jika dibiarkan bisa mengancam keberlangsungan industri ini di kemudian hari.

Karenanya, Syarkawi Rauf, Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Periode 2015 – 2018 meminta Kementerian Perhubungan agar melarang aplikator transportasi ojek online menerapkan tarif promo yang berlebihan.

Pemberian tarif promo berlebihan dinilai mengarah pada praktik predatory pricing berbungkus promo yang terus menerus. Perilaku persaingan usaha yang tidak sehat tersebut dinilai berpotensi menyingkirkan kompetitor hingga pada akhirnya menciptakan monopoli yang merugikan konsumen.

Berbicara di acara diskusi publik 'Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif' yang digelar Komunitas Peduli Transportasi di Jakarta, Senin (20/5) di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Syarkawi menilai dua payung hukum bisnis transportasi online yang selama ini sudah diterbitkan pemerintah masih memiliki celah dan bisa disalahgunakan oleh perusahaan aplikasi ojek online.

Baca: Waduh, Ada Kandungan Formalin Pada Semua Sampel Ikan Asin di Pasar Tradisional Purbalingga

Dua regulasi dimaksud adalah, pertama, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.

Kedua, Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KP 348 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan dengan Aplikasi.

Baca: Mei Ini, Sriwijaya Air Buka 3 Rute Penerbangan Domestik Baru

Syarkawi menyatakan, di kedua aturan itu disebutkan ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen dan tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif.

Namun ada kelemahannya, yakni tak mengatur sama-sekali tentang tarif promosi.

Menurut dia, lubang di regulasi ini patut disesalkan karena bisa mendorong perusahaan transportasi online menjalankan praktik predatory pricing lewat tarif promo.

Dia mencontohkan, jika biaya produksinya adalah Rp 20, namun perusahaan aplikasi transportasi online kemudian menjualnya hanya nol rupiah merukapakan bentuk praktik predatory pricing lewat tarif promo tadi.

Contoh lainnya, menebar tarif promosi dengan diskon 100%, atau memberikan layanan secara gratis ke konsumen.

Praktik semacam ini dia nilai bertujuan memperbesar pangsa pasar dan menyingkirkan kompetitor.

Syarkawi, meminta agar Permenhub 12 Tahun 2009 ini direvisi demi membatasi promo pada batas wajar dan memberikan sanksi bagi aplikator yang terindikasi melakukan promo tidak wajar.

Dia menegaskan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang ‘Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat’ pasal 20 menyebutkan, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat menyebabkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Muslich Zainal Asikin menilai Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi selama ini sudah tepat mengambil kebijakan baru tentang bisnis transportasi online di Indonesia dengan menerbitkan regulasi untuk menjaga agar manfaat positif tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat ke depannya.

Namun, senada dengan Syarkawi Rauf, dia meminta Kemenhub juga mengatur larangan promo tarif di bawah batas bawah di transportasi ojek online.

Dia berpendapat, pengaturan tarif saja tanpa pengaturan promo atau subsidi harus diikuti dengan penyempurnaan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menghentikan perang harga, promosi dan diskon yang agresif.

Dia mencontohkan, operator taksi Blue Bird dan Express saat ini tidak bisa menggelar promosi jor-joran layaknya transportasi taksi online karena sudah ada Permenhub.  Aturan yang sama seharusnya juga diberlakukan di ojek online.

Menurutnya, perlu ada mekanisme sanksi terhadap upaya-upaya predatory pricing yang mengarah ke monopoli dan mengancam keberlangsungan industri transportasi online dari Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta KPPU.

Di tempat yang sama, Ketua Tim Peneliti RISED yang juga ekonom Universitas Airlangga Rumayya Batubara memaparkan hasil riset lembaganya tentang ojek online.

Dia menyatakan, dari hasil riset ini sebanyak 75 persen konsumen yang menjadi responden menolak penerapan tarif baru ojek online.

Sementara, sebanyak 47,6 persen konsumen hanya bersedia mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojek online maksimal Rp 4.000-Rp 5.000 per hari dan 27,4 persen konsumen responden lainnya menolak menambah pengeluaran untuk ojek online.

Dia juga memaparkan, skema tarif baru Kepmenhub tentang tarif ojek online dan rata-rata jarak tempuh konsumen membuat pengeluaran konsumen bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11.000/hari di Zona I, Rp 6.000-Rp 15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.000-Rp 12.000/hari di Zona III.

“Pemerintah jangan sampai membaca animo yang salah. Karena tidak akan terjadi perubahan tarif yang dirasakan masyarakat karena tertahan oleh praktek promo jor-joran, bahkan mungkin bisa lebih murah dibandingkan tarif lama,” dia mengingatkan.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved