Jumlah Menyusut Akibat Merger, Akan Tetapi Kinerja BPR/BPRS Tetap Tahan Pandemi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, jumlah BPR dan BPRS di Indonesia mencapai 1.646 unit pada September 2021.
Editor:
Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Maraknya aksi merger oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dalam enam tahun belakangan kini terasa efeknya.
Belakangan, jumlah BPR dan BPRS di tanah air kian menyusut.
Hal ini karena pertumbuhan pembentukan BPR atau BPRS sangat sedikit.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, jumlah BPR dan BPRS di Indonesia mencapai 1.646 unit pada September 2021.
Baca juga: Gubernur Bank Indonesia Beberkan Sejumlah Risiko yang Membayangi Sektor Perekonomian di 2022
Jumlah itu berasal dari 1.481 BPR dan 165 BPRS.
Jumlah itu turun signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.
Padahal tahun 2016, jumlah BPR dan BPRS masih tercatat sebanyak 1.799 unit.
Kemudian pada 2017 berkurang lagi menjadi 1.789 bank.
Bahkan, tahun 2018, jumlah pemain BPR dan BPR kembali berkurang menjadi 1.764 unit.
Dua tahun berikutnya, pada 2019 dan 2020, jumlah bank perkreditan ini tersisa masing - masing sebanyak 1.709 dan 1.669.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengungkapkan, bahwa beberapa tahun terakhir banyak BPR yang melakukan konsolidasi untuk penguatan modal.
Alhasil, jumlah jumlahnya pemainnya terus berkurang.
Baca juga: Prihatin Kondisi Pandemi di Bali, BPR Lestari Salurkan Bantuan Covid-19
"Jumlah BPR dan BPRS terus menurun. Ini menunjukkan, bahwa mereka merespon ketentuan OJK.
Kami harapkan, berbagai usaha dan aksi korporasi bisa meningkatkan permodalan dari waktu ke waktu," kata Heru, dalam Launching Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, Selasa (30/11/2021).
Menurut Heru, pemodalan menjadi salah satu tantangan industri BPR. Mengingat, industri BPR dan BPRS masih didominasi pemain berskala kecil.
Maka itu diperlukan permodalan yang memadai untuk mendukung daya saing di era digital.
Selain permodalan, tantangan selanjutnya terkait tata kelola, infrastruktur, produk dan layanan.
Heru mengungkapkan ada beberapa aspek yang dibutuhkan untuk bersaing di era digital mulai dari penerapan tata kelola yang optimal.
Kemudian menjaga kualitas dan kuantitas pengurusan dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
Baca juga: PPATK: BPR-BPR Wujudkan Ekonomi Kerakyatan
Hal ini dibarengi infrastruktur teknologi informasi (TI) yang memadai dengan mengadopsi teknologi terbaru.
Lalu menerapkan manajemen risiko termasuk potensi risiko baru terhadap pemanfaatan TI.
Itu semua, mesti diikuti dengan pengembangan inovasi produk dan layanan sesuai kebutuhan konsumen.
Kinerja Positif
Meski jumlahnya terus menyusut, namun BPR dan BPRS masih mencatatkan kinerja positif meski hadapi tantangan di masa pandemi Covid-19.
Hal ini tercermin dari pertumbuhan aset, kredit dan dana pihak ketiga (DPK) pada kuartal III 2021.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mencatat, total aset BPR dan BPRS tumbuh 8,90% yoy menjadi 178,39 triliun.
Dari sisi kredit, tumbuh 4,33% yoy mencapai 126,14 triliun hingga September 2021. Sementara itu, DPK tumbuh paling besar yakni 11,27% yoy menjadi 123,76 triliun.
Baca juga: Pinjaman Bisnis dan Perorangan di Bank dan BPR Jepang Capai Rekor 578 Triliun Yen
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, hal ini menandakan bahwa BPR dan BPRS masih menunjukkan perkembangan yang bagus.
Ia mengapresiasi kemampuan industri BPR masih bertahan hadapi dampak Covid-19.
"Ketahanan dari bank terlihat dari CAS bagus. Rasio profitabilitas dan likuiditas juga masih menduduki rasio yang sangat baik," kata Heru dalam Launching Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, Selasa (30/11).
Selain itu, BPR juga berhasil menjaga risiko kredit macet (NPL), dengan NPL Gross di level 7,53% dan NPL Net 5,2%.
Sementara untuk BPRS, rasio pembiayaan macet (NPF) mengalami sedikit kenaikan dari NPF Gross 7,24% dan NPF Net 5,85% pada Desember 2021.
Menjadi NPF Gross 7,94% dan NPF Net 7,56% pada September 2021.
"Industri BPR dan BPRS akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan ke nasabah karena tingginya risiko kredit seiring dengan dampak pandemi Covid-19," terang Heru. (Ferrika Sari)