Optimasi Sains dan Riset Buka Peluang Ekonomi dan Investasi Baru
Indonesia didorong segera meningkatkan penerapan formulasi penyusunan kebijakan berbasis riset dan sains karena diyakini akan menarik investasi
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia didorong segera meningkatkan penerapan formulasi penyusunan kebijakan berbasis riset dan sains (science) karena diyakini akan menarik investasi jangka panjang dan berkelanjutan.
Hal ini juga perlu menjadi perhatian besar bertepatan dengan momen presidensi G20 dan B20 pada tahun 2022.
“Riset itu sangat penting sekali. Sebagai sebuah negara, indeks hasil riset Indonesia justru termasuk rendah. Produk-produk riset kita masih sangat rendah. Ini jadi tantangan kita semua,” ungkap Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto dalam pernyataan tertulis dikutip Senin (25/4/2022).
Baca juga: Riset Oracle : Konsumen Dorong Perusahaan Tingkatkan Inisiatif Keberlanjutan dan Sosial
Data Kementerian Riset dan Teknologi mencatat tahun 2020, menunjukkan, total publikasi riset Indonesia empat tahun terakhir mencapai 161.928. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan Malaysia yang memeroduksi 173.471 publikasi riset pada kurun waktu yang sama.
Padahal, kata Sugeng, riset dibutuhkan dalam banyak hal termasuk salah satunya regulasi dan kebijakan. Tujuannya supaya bisa mendongkrak lebih banyak investasi yang mengandung pengetahuan baru dan penerapan teknologi.
“Idealnya kita tawarkan kepada investor-investor internasional berdasarkan data hasil riset. Riset kan bukan hanya sekadar perpustakaan tapi bisa juga dalam bentuk eksplorasi, itu kan sama saja ekonomi berbasis riset, untuk mendapatkan kepastian, perihal cadangan, skala ekonominya,” ujar politisi asal Partai NasDem ini.
Indonesia berpotensi besar menerima banyak manfaat dari penerapan kebijakan berbasis riset dan sains, antara lain terwujudnya ekosistem ekonomi yang lebih bersifat jangka panjang.
Kementerian PPN/Bappenas pada tahun 2021 menekankan pentingnya hal tersebut, bahwa investasi saja tanpa adanya inovasi yang berbasis riset dan sains akan riskan. Akan ada persoalan kesinambungan dan bahkan yang lebih serius adalah masuk ke dalam perangkap pendapatan menengah.
Atas dasar itu, penting bagi Indonesia memperkuat kebijakan berbasis riset dan sains. Terlebih hasilnya sudah terlihat. Tercermin dari beberapa investasi baik yang sudah terealisasi maupun masih berupa komitmen yang sudah terjadi dimana keputusan investasinya berbasis riset dan sains.
Baca juga: Edukasi Literasi Keuangan Jadi Kunci Cegah Masyarakat Masuk Investasi Ilegal
Di industri tembakau, misalnya, lahir pengembangan inovasi dan teknologi berupa produk tembakau alternatif yang bisa membantu perokok beralih kepada produk yang lebih rendah risiko. Berbasis riset dan sains, inovasi ini membuahkan investasi.
Philip Morris International melalui afiliasinya yaitu PT HM Sampoerna Tbk pada akhir 2021 mengumumkan investasi sebesar USD166,1 juta atau setara sekitar Rp 2,3 triliun untuk membangun fasilitas produksi untuk produk tembakau yang dipanaskan.
Hal serupa juga disampaikan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan, dan Keamanan KADIN Indonesia Bambang Soesatyo (Bamsoet). Dia mengatakan, JTA International Holding, perusahaan investasi berbasis di Qatar mengumumkan investasi di industri smelter nikel di Indonesia, Rabu (20/4/2022).
Landasannya adalah data riset US Geological Survey yang memproyeksikan cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton, atau sekitar 40% nikel dunia ada di Indonesia.
Dengan hadirnya investasi tersebut dan didukung data riset yang relevan, kata Bamsoet yang juga ketua MPR ini mengatakan, sejalan dengan tekad Indonesia yang ingin menjadi pemain utama dalam ekosistem produsen baterai di dunia.
Negara ini sudah mendirikan Indonesia Battery Corporation (IBC), sebuah holding yang dibentuk oleh empat BUMN yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (Antam) PT Pertamina, dan PT PLN.
Pemerintah sebenarnya sudah menyadari pentingnya inovasi dan pengembangan teknologi berbasis riset untuk smelter nikel karena berkaitan dengan lingkungan dan kesinambungan bisnis.
Atas dasar itu pada pertengahan 2021 Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi melaporkan hasil audit teknologi yang dilakukan terhadap metode Step Temperature Acid Leach (STAL) untuk proses pelindian.
Metode ini diklaim mampu me-recovery nikel mulai 89% hingga 91% dan kobalt sebesar 90% hingga 94 persen. Metode tersebut dinyatakan mampu memberikan nilai tambah komoditas nikel ketika diterapkan dalam smelter skala kecil atau modular.
Baca juga: Ciri-ciri Investasi Ilegal yang Perlu Diwaspadai Menurut Satgas OJK
Dengan teknologi ini, smelter nikel dapat menghasilkan limbah yang lebih ramah lingkungan. Sebab, limbahnya bisa dikelola kembali menjadi produk yang bernilai.
Namun penerapannya membutuhkan biaya relatif tinggi. Satu smelter bisa memakan biaya Rp25 Triliun. Atas dasar itu dibutuhkan investasi.
”Intinya policy based on research atau science dan inovasi teknologi itu adalah untuk menghindari sekecil mungkin akibat-akibat negatif yang ditimbulkan dari pembangunan investasi tersebut,” imbuhnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengatakan bisa mendapatkan investasi yang mengandung pengetahuan baru serta inovatif merupakan hal positif bagi Indonesia.
”Itu menurut saya bagus banget, kalau bisa kita lakukan itu akan membuat posisi Indonesia terdepan. Apalagi kalau memang teknologinya bagus, artinya memang bisa benar-benar diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
Hariyadi menekankan, semestinya tidak sulit mewujudkannya karena Indonesia bisa menjadi tujuan investasi global dengan berbagai keunggulan dibandingkan negara tujuan investasi lainnya.
Baca juga: Edukasi Literasi Keuangan Jadi Kunci Cegah Masyarakat Masuk Investasi Ilegal
Yang terpenting adalah sikap akomodatif dari pemerintah untuk lebih terbuka terhadap stakeholders dalam rangka bersikap progresif dan terus menerima masukan yang relevan dalam penyusunan kebijakan.
Tujuannya dalam rangka membentuk lingkungan bisnis yang dapat diprediksi dan iklim investasi yang lebih kondusif. ”Indonesia kan pasar yang besar, jadi kita benar-benar bisa hidup. Mumpung negara lain belum terlalu serius,” terusnya.
Dia mengatakan, Indonesia bisa memanfaatkan momentum presidensi G20 yang di dalamnya terdapat B20 tahun 2022.
”Itu pertemuan dari negara-negara yang dipandang GDP-nya tinggi. Dengan dilakukannya di Indonesia lebih efektif agar mereka bisa lebih paham, mereka bisa melihat langsung. Jadi secara efektif sebetulnya bisa mempromosikan indonesia, kelebihan-kelebihan apa yang kita punya bisa langsung kita promosikan,” ujarnya.