Selasa, 19 Agustus 2025

PHK Tinggi, Perekonomian Indonesia Berpeluang Rebound di Kuartal II

ejumlah indikator menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih berpeluang untuk rebound pada kuartal II tahun 2025

Penulis: Lita Febriani
Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Lita Febriani
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi di Cibubur, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025). Perekonomian Indonesia berpeluang rebound ditandai dengan membaiknya pasar domestik di kuartal kedua 2025.  

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah indikator menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih berpeluang untuk rebound pada kuartal II tahun 2025 ini meski dibayangi tekanan ekonomi global dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai tren PHK di industri padat karya disebabkan tekanan ekonomi global.

Ada penurunan permintaan global karena ekspektasi tarif yang ditetapkan Trump yang dikhawatirkan memicu naiknya biaya produksi.

"Kalau kita lihat dari proyeksi ekonomi global yang sebelumnya 3 persen, itu direvisi ke bawah ya. Tinggal 2,6-2,7 persen, jadi ada kontraksi. Dari sisi itu, industri padat karya mengalami hambatan untuk melakukan ekspor, sehingga pada akhirnya mereka terpaksa melakukan efisiensi," jelas Fithra. 

Fithra menambahkan, dari sisi ongkos produksi yang dari tahun lalu di mana Purchasing Managers Index (PMI) Manufacturing Indonesia sempat terkontraksi 5 bulan berturut-turut. 

Dia menilai, pemerintah, terutama Bank Indonesia, sudah melakukan langkah-langkah yang cukup signifikan. Misalnya, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia telah melakukan intervensi melalui cadangan devisa.

Menurut estimasi Fithra, dalam periode April hingga Mei, bank sentral menggelontorkan sekitar 3 miliar dolar AS hingga 4 miliar dolar AS guna menahan pelemahan rupiah di kisaran Rp 16.200–Rp 16.300 per dolar AS.

Di saat yang sama, ruang untuk pertumbuhan ekonomi domestik masih terbuka melalui kebijakan relaksasi moneter.

Ini menjadi kombinasi strategis, di mana stabilitas rupiah tetap dijaga, sementara sisi pertumbuhan tidak dikorbankan. 

Seiring dengan menurunnya tekanan nilai tukar, potensi peningkatan daya beli masyarakat atau purchasing power juga mulai terlihat.

Hal itu tercermin dari pergerakan pasar saham yang menunjukkan optimisme dalam beberapa pekan terakhir. Ekspektasi terhadap kenaikan konsumsi domestik menjadi salah satu pendorong utama sentimen tersebut.

Baca juga: Ekonom BCA Ungkap Potensi Tantangan Perekonomian Indonesia di 2025

"Jadi, kalau melihat potensi industri sekarang sih, saya rasa agak lebih positif ya, karena tekanan dari nilai tukar sudah mulai turun."

"Terus, yang kedua, ada potensi peningkatan purchasing power, yang mana itu kita bicara mengenai demand domestik adalah meningkatkan purchasing power," imbuhnya. 

Di sisi lain, menurutnya investor asing tampak mulai melakukan strategi de-risking terhadap portofolio mereka di Amerika Serikat, menyusul penurunan peringkat pasar obligasi AS. 

Baca juga: Ekonom Bank Permata: Enam Insentif Pemerintah Mulai Juni 2025 Kerek Konsumsi Domestik

Kondisi sebaliknya, pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, justru mendapatkan angin segar setelah mendapatkan upgrade dari JP Morgan. Ini memperkuat posisi Indonesia sebagai destinasi investasi yang menjanjikan di tengah perlambatan global.

"Dengan minimnya risiko eksternal dalam waktu dekat, serta didukung oleh faktor-faktor domestik yang membaik, peluang ekonomi Indonesia untuk rebound di kuartal kedua dinilai cukup besar," jelasnya.

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan