Jumat, 14 November 2025

80 Persen Sampah Berakhir di Pembakaran, Pelaku Usaha Mulai Masuk ke Sektor Pengelolaan Sampah

Persoalan sampah tidak bisa dipandang sekadar isu kebersihan saja, melainkan telah memasuki ranah ekonomi.

Wartakota/Ichwan Chasani
TUMPUKAN SAMPAH - Para pemulung sedang mencari sampah di antara alat-alat berat yang membuang sampah di TPA Bantar Gebang Bekasi. Sekitar 40% sampah nasional belum dikelola dengan baik. 

Ringkasan Berita:
  • Sekitar 40 persen sampah nasional belum dikelola dengan baik.
  • Persoalan sampah tidak bisa dipandang sekadar isu kebersihan saja, melainkan telah memasuki ranah ekonomi.
  • Pertumbuhan penduduk yang pesat sehingga otomatis meningkatkan volume sampah rumah tangga.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) menilai persoalan sampah tidak bisa dipandang sekadar isu kebersihan saja, melainkan telah memasuki ranah ekonomi, kesehatan publik, dan keberlanjutan lingkungan.

Research Director Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi, mengatakan, sekitar 40% sampah nasional belum dikelola dengan baik.

“Lebih dari 80% di antaranya berakhir di pembakaran terbuka atau open dumping landfill. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan polusi tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan iklim,” jelas Gundy dikutip Kamis (13/11/2025).

Kondisi tersebut sejalan dengan temuan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 yang mencatat total sampah di Indonesia telah mencapai 34 juta ton.

Baca juga: Jakarta Kembangkan Ekonomi Hijau Lewat Gerakan Bank Sampah dan RusunPreneur

“Kalau diilustrasikan, jumlah tersebut setara dengan rangkaian gerbong kereta api yang membentang dari Sabang hingga Merauke,” ucap Gundy.

Gundy menguraikan, ada tiga penyebab utama di balik krisis sampah di Indonesia.

Pertama, pertumbuhan penduduk yang pesat sehingga otomatis meningkatkan volume sampah rumah tangga.

Kedua, perubahan pola konsumsi masyarakat menuju gaya hidup yang semakin consumer-driven. Hal itu ditandai dengan meningkatnya penggunaan kemasan sekali pakai serta layanan makanan instan dan delivery.

Ketiga, keterbatasan infrastruktur dan sistem pengelolaan sampah yang hingga kini masih bersifat “tambal sulam”.

“Regulasi sebenarnya sudah ada, tapi implementasinya sering berhenti di tengah jalan. Banyak daerah bahkan belum memiliki sistem pengelolaan yang solid,” jelas Gundy.

Ia juga menyoroti ketimpangan layanan pengumpulan sampah, minimnya investasi sektor lingkungan, serta lemahnya penegakan hukum sebagai faktor penghambat utama.

Meski demikian, Prasasti melihat ada peluang besar di balik krisis tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pelaku usaha dan investor yang mulai melirik sektor pengelolaan sampah sebagai bisnis berkelanjutan dan sumber penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs).

Prasasti melihat, apabila mendapatkan solusi yang baik, krisis sampah bisa menjadi berkah.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved