Rabu, 10 September 2025

Virus Corona

Dokter Spesialis Paru Ungkap Bahaya Paracetamol untuk Corona: Gejala Demam Hilang, Virus Masih Ada

Dokter Spesialis Paru Prof. dr. Faisal Yunus menentang penggunaan obat penurun demam atau pereda nyeri paracetamol untuk virus corona.

Penulis: Ifa Nabila
Editor: Tiara Shelavie
Medicalnewstoday
Ilustrasi obat-obatan herbal dan suplemen. 

TRIBUNNEWS.COM - Dokter Spesialis Paru Prof. dr. Faisal Yunus menentang penggunaan obat penurun demam atau pereda nyeri paracetamol para orang dengan suhu tubuh tinggi.

Faisal menjelaskan orang dengan suhu tubuh tinggi bisa jadi terinfeksi virus corona, sedangkan paracetamol hanya menurunkan demam, bukan membunuh virus.

Dilansir Tribunnews.com, hal ini diungkapkan Faisal dalam wawancara unggahan YouTube Talk Show tvOne, Sabtu (21/3/2020).

Dalam tayangan itu, Faisal menjelaskan soal pro dan kontra penggunaan paracetamol untuk wabah corona.

Ada pihak yang menyebut paracetamol baik untuk penderita corona, ada yang menyebut justru memperparah penyakit.

Faisal berkeyakinan paracetamol hanya akan menghilangkan gejala demam dan virus pun masih ada di tubuh manusia.

Baca: Kronologi Pasien Positif Corona Meninggal Dunia di Batam, Sempat Lakukan Perjalanan ke Berbagai Kota

Baca: Sebar 50 Ribu Undangan, Wakil Walkot Samarinda Tunda Pernikahan Anak, Hidangan Dibagi ke Yatim Piatu

"Benar tidak kalau saat ini berkembang bahwa ibuprofen dan paracetamol bisa membuat tubuh sangat bisa menjadi medium yang paling baik untuk virus corona?" tanya pembawa acara Chacha Annissa.

"Paracetamol itu kan menghilangkan demam, jadi orang-orang yang ada gejala, kalau dia minum paracetamol gejalanya hilang," jawab Faisal.

Bagi Faisal, orang yang terpapar corona dan minum paracetamol malah jadi membahayakan.

Pasalnya, orang tersebut akan merasa kembali sehat setelah demam hilang dan bisa merasa bebas untuk bergaul dengan orang lain padahal ia terinfeksi.

"Jadi sebenarnya dia (kemungkinan) sudah sakit atau terkena tapi karena dia minum paracetamol, dia enggak tahu, dan dia pasti ke mana-mana jadi bahaya buat yang lain," paparnya.

Baca: Update Pasien Virus Corona 23 Maret 2020: Total 335.997 Kasus, 98.330 Sembuh,14.641 Orang Meninggal

Baca: Soal Rapid Test Corona, Dokter Spesialis Paru: Tenaga Medis Harus Jadi Prioritas

Pendapat WHO

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru menyebut penggunaan paracetamol lebih disarankan, dibanding ibuprofen, dikutip dari Sciencealert.

WHO menyatakan untuk menghindari penggunaan ibuprofen setelah pejabat Perancis memperingatkan bahwa obat anti-inflamasi dapat memperburuk efek virus.

Menteri Kesehatan Perancis, Olivier Veran memperingatkan hal tersebut berdasar sebuah studi baru-baru ini dalam jurnal medis The Lancet yang berhipotesis bahwa suatu enzim yang dikuatkan oleh obat anti-inflamasi seperti Ibuprofen dapat memfasilitasi dan memperburuk infeksi Covid-19.

Terkait penelitian tersebut, juru bicara WHO Christian Lindmeier mengungkapkan, para pakar badan kesehatan PBB sedang menyelidiki ini untuk memberikan panduan lebih lanjut.

"Sementara itu, kami merekomendasikan penggunaan Paracetamol, dan jangan menggunakan Ibuprofen sebagai pengobatan sendiri, itu penting," jelasnya.

Christian menambahkan, jika Ibuprofen telah diresepkan oleh para profesional kesehatan, maka silahkan dilanjutkan.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Perancis menekankan bahwa pasien yang sudah dirawat dengan obat anti-inflamasi harus meminta nasihat dari dokter mereka.

Saran Faisal soal rapid test corona

Awalnya, Faisal menyebut yang selama ini menjadi prioritas pengetesan adalah orang yang sudah positif atau pasien dalam pantauan (PDP).

Meski demikian, Faisal sebenarnya menganggap dokter atau tenaga medis yang menangani corona harusnya lebih diutamakan dalam rapid test itu.

"Jadi yang pertama, orang-orang yang jelas positif, itu kan kita takut dia menularkan," kata Faisal.

"Nah, terus terang saya sih concern tenaga medis dulu yang sehari-harinya menangani," sambungnya.

Hal ini disebabkan sudah banyak tenaga medis yang terinfeksi corona dan harusnya yang lain pun segera dideteksi.

"Karena kalau dia terkena, dia kan bisa menularkan yang lain, kan sudah ada beberapa tenaga medis yang sudah terkena," ujar Faisal.

"Kalau itu bisa diperiksa, kan kita lebih tahu, lebih cepat," sambungnya.

Terlebih tenaga medis adalah pihak yang berhadapan langsung dengan para pasien.

Parahnya jika dokter yang menangani corona juga menangani pasien dengan penyakit lain, sehingga malah bisa menularkan.

"Pertama, perlindungan untuk dirinya, kedua untuk masyarakat sekitarnya. Artinya sehari-hari dia kan tidak hanya menangani corona," ungkap Faisal.

"Kalau dia praktik, tanpa dia melakukan perlindungan diri, dia bisa menularkan orang lain," imbuhnya.

Selain tenaga medis, pihak keluarga PDP harusnya juga menjadi prioritas lantaran sempat kontak dengan PDP.

Dikhawatirkan jika tak terdeteksi sejak dini, maka PDP yang positif corona bisa berkeliaran di mana-mana dan tanpa sengaja menyebarkan virus tersebut.

"Pasien itu tinggal di mana keluarganya, kan ini rapid test hanya bisa positif kalau sudah ada gejala. Jadi kalau ada gejala-gejala sudah terjadi pada keluarga, atau orang terdekatnya, itu yang diprioritaskan terlebih dahulu," terangnya.

"Karena kalau tidak demikian, orang-orang yang tadinya positif, dia bisa ke mana-mana, dia akan menambah penyebaran ke mana-mana," tambahnya.

Berikut video lengkapnya:

 

(Tribunnews.com/ Ifa Nabila/ Fajar)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan