Virus Corona
Sosiolog Imam Prasodjo Stres Jika Orang Sepelekan Corona sampai Bulan Puasa: Rumah Sakit Bisa Kolaps
Sosiolog Imam Prasodjo stres banyak orang Indonesia sepelekan corona, khawatir jika nanti Ramadan nekat tarawih dan mudik lalu menularkan.
Penulis:
Ifa Nabila
Editor:
bunga pradipta p
TRIBUNNEWS.COM - Sosiolog Imam Prasodjo mengaku waswas lantaran banyak orang Indonesia yang masih menyepelekan bahaya virus corona yang saat ini tengah mewabah.
Imam membayangkan jika sikap orang Indonesia masih banyak yang menyepelekan corona ini bertahan hingga bulan puasa, maka rumah sakit bisa kolaps.
Hal ini lantaran bisa jadi masyarakat Indonesia banyak yang nekat untuk ibadah tarawaih berjemaah, mudik, atau kegiatan ibadah lain yang membuat kerumunan.
Dilansir Tribunnews.com, hal ini diungkapkan Imam dalam acara DUA SISI unggahan YouTube Talk Show tvOne, Kamis (26/3/2020).
Imam mengaku sejak awal kemunculan virus ini sudah punya firasat, penularannya akan parah.
Baca: Waswas Banyak Orang Indonesia Sepelekan Corona, Sosiolog Imam Prasodjo: Saya Ketar-ketir
Baca: Psikiater Ungkap Banyak Pasien Ngaku Batuk hingga Demam Seperti Corona: Itu Gejala Psikosomatis
"Saya sudah memprediksi, virus ini mempunyai keganasan menular yang luar biasa yang kita harus antisipasi," kata Imam.
Dari kesadaran akan parahnya virus corona, Imam sampai merasa waswas.
Namun yang utama membuat dirinya waswas bukan seberapa mematikan virus ini, tapi betapa banyak orang Indonesia yang menganggap enteng.
"Saya secara pribadi, saya juga waswas, tapi waswas bukan karena virusnya, waswas terhadap masyarakat yang menganggap enteng gejala mewabahnya virus ini," terang Imam.
Imam menyebut banyak orang yang masih santai saja dan tidak mengindahkan imbauan pemerintah, di antaranya untuk menghindari kerumunan.
"Orang yang dengan sangat rileksnya, kita sudah dianjurkan untuk tinggal di rumah, jangan melakukan kerumunan, tapi dia melakukan itu juga," ungkap Imam.
Imam berharap Indonesia bisa mencontoh sikap warga negara lain seperti Korea Selatan yang warganya bisa disiplin tanpa lockdown.
Tanpa harus aparat bersikap keras seperti di China.

"Nah itu yang membuat saya waswas, karena kalau melihat apa yang terjadi di Korea misalnya, mereka luar biasa disiplin, tidak perlu ada lockdown, tapi dia patuh terhadap anjuran terpapar atau memaparkan," terangnya.
Kekhawatiran Imam juga mengarah kepada wabah corona nanti ketika bulan Ramadhan.
Menurutnya, masyarakat harus sejak sekarang didisiplinkan agar nantinya penularan tidak semakin parah akibat sikap nekat saat bulan Ramadan.
"Saya tuh ketar-ketir terhadap saudara-saudara kita yang sebangsa, yang menganggap enteng terhadap apa yang terjadi," kata Imam.
"Apalagi nanti jika puasa, kita harus ada persiapan bagaimana memberi kesadaran ibadah," sambungnya.
Sebagai pemeluk agama Islam, Imam mengaku dirinya juga pasti akan sulit untuk tidak melakukan ibadah salat tarawih berjemaah di masjid.
"Saya sebagai orang muslim tentu tarawih berjamaah, itu satu hal yang sulit sekali untuk tidak dilakukan, karena sudah terbiasa," kata Imam.
Baca: Orang Psikosomatis Bisa Ikut Merasa Sakit saat Baca Kabar Corona, Psikiater: Pilah-pilihlah Berita
Baca: Deretan Fakta ASN Nekat Curi Masker di RS, Sudah 4 Kali Beraksi, Barang Dijual Harga Puluhan Juta
Namun Imam menyadari jika para muslim tetap nekat untuk melakukan ibadah yang berkerumun, maka korban corona akan semakin banyak dan rumah sakit semakin kewalahan.
"Tetapi kalau masih dilakukan juga, risikonya (besar). Orang sekarang (pasien) sudah 800-an lebih," kata Imam.
"Dan ini bayangkan kalau itu terekskalasi dalam jumlah yang jauh lebih besar, yang akan kolaps adalah rumah sakitnya," sambungnya.
Belum lagi jika masyarakat Indonesia dari kota besar nekat mudik ke kampung halaman.
Bisa jadi mereka sudah terpapar corona atau terpapar dalam perjalanan sehingga menularkan kepada seluruh saudaranya di kampung.
"Apalagi nanti mudik. Kebayang enggak kalau misal masyarakat kita tidak terlalu peduli bahwa ini adalah sesuatu yang berbahaya," ujar Imam.
"Dan kemudian mudik dalam situasi yang mungkin terpapar dalam perjalanan dan menulari seluruh saudara," imbuhnya.

Membayangkan kemungkinan buruk akibat kenekatan orang Indonesia membuat Imam stres.
"Itu membuat saya stres. Bukan karena virusnya saja, tapi ini perilaku kita," aku Imam.
Imam awalnya sempat pesimis akan ada banyak muslim yang menentang imbauan salat Jumat diganti salat duhur dirumah.
Namun ia mengaku senang ketika perlahan sudah banyak masyarakat yang sadar untuk tidak lagi salat Jumat di masjid.
Ia berharap kesadaran ini juga akan bertahan saat bulan puasa nanti.
Psikiater jelaskan soal psikosomatis
Dalam tayangan tersebut, psikiater, dr Danardi Sosrosumihardjo menceritakan di tengah corona yang mewabah ini menimbulkan kecemasan pada banyak orang hingga paranoid.
Kecemasan tak hanya bersarang di pikiran, tapi bisa terwujud berupa penyakit fisik.
Hal ini bisa menyebabkan gejala psikosomatis di mana seseorang terpengaruh pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari keadaan yang sebenarnya.
"Jadi tanda-tanda kecemasan itu bisa diwujudkan dalam gejala psikisnya, apakah waswas, khawatir, sampai parno," kata Danardi.
"Atau juga diwujudkan dalam bentuk fisiknya. Ada teman mengatakan, itu gejala psikosomatis, itu benar," sambungnya.
Danardi menyebut ada banyak pasiennya yang mengklaim memiliki gejala layaknya corona.
Dan setelah diperiksa fisiknya secara medis, ternyata tidak ada gejala apa-apa seperti yang dikeluhkan.
"Bahwa kemudian mencocok-cocokkan dengan gejala Covid-19," kata Danardi.
"'Saya kok jadi batuk kering ya dok? Saya kok jadi demam?' padahal ketika dipriksa suhunya normal."
"Batuk kering ketika kita coba lihat mulutnya tidak ada peradangan."
"Atau mungkin merasa berdebar jantungnya, itu (setelah diperiksa) oke, atau merasa sesak napas tapi paru-parunya juga oke," paparnya.
Danardi menjelaskan orang-orang dengan tingkat kecemasan berlebih ini memancing pikirannya sendiri sehingga seolah gejala corona juga muncul dalam dirinya.
"Jadi ada memang orang yang dengan kecemasan berlebih itu mencoba merasakan fisiknya sakit, padahal fisiknya sebenarnya dalam batas normal, ada banyak," terang Danardi.
Danardi mengaku ada banyak pasien yang menghubunginya karena gejala yang dirasa seperti corona itu.
Ia pun mengajak para pasiennya untuk menenangkan pikiran di antaranya dengan cara relaksasi agar pikiran negatif soal corona pun hilang.
"Dan pasien-pasien seperti ini akan menjapri kepada saya dan menyampaikan 'Kenapa saya seperti ini?'," ujar Danardi.
"Kita ajak relaksasi, mungkin hiperventilasi, tarik napas panjang, mencoba untuk menentramkan diri, beribadah, itu bagus," jelasnya.
Berikut video lengkapnya:
(Tribunnews.com/ Ifa Nabila)