Minggu, 10 Agustus 2025

Virus Corona

Pemberlakuan Darurat Sipil Dinilai Tak Logis Hadapi Pandemi Covid-19

Abdul Fickar Hadjar, menyatakan pemberlakuan darurat sipil tidak logis untuk menanggulangi wabah corona.

Editor: Johnson Simanjuntak
/Theo Rizky
Tim gabungan melakukan penyemprotan cairan disinfektan di Jalan Sudirman Pekanbaru, Selasa (31/3/2020). Penyemprotan massal dilakukan dengan mengerahkan puluhan kendaraan, baik mobil watercanon milik Kepolisian, mobil Pemadam Kebakaran maupun mobil Palang Merah Indonesia. Penyemprotan disinfektan di Kota Pekanbaru, dibagi menjadi 4 zona. Yaitu Zona A (Utara), Zona B (Selatan), Zona C (Barat) dan Zona D (Timur), dengan total puluhan kilometer. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya mencegah penyebaran Virus Corona atau Covid-19. Penyemprotan yang dilakukan di jalan, juga menyasar trotoar, jembatan penyeberangan orang dan halte di sepanjang rute yang dilaluinya. kegiatan penyemprotan sekitar 10 ton cairan disinfektanini melibatkan 3.802 personel gabungan TNI, Polri dan instansi lainnya. TRIBUN PEKANBARU/THEO RIZKY 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah kalangan mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berencana menerapkan kebijakan darurat sipil untuk mencegah penyebarluasan penularan coronavirus disease 2019 (Covid-19) di Indonesia. 

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan pemberlakuan darurat sipil tidak logis untuk menanggulangi wabah corona. 

Menurutnya, darurat sipil merupakan pendekatan politis, sementara yang dihadapi saat ini merupakan darurat kesehatan. 

Baca: Tangani Corona, Wali Kota Sabang Sumbangkan Seluruh Gajinya Setiap Bulan

"Ya ada jalan pikiran yang tidak logis, darurat wabah kok dihadapi dengan darurat sipil yang lebih merupakan pendekatan politis," kata Fickar saat dihuhungi, Selasa (31/3/2020).

Fickar menyatakan, dalam menanggulangi pandemi corona, pemerintah seharusnya menggunakan ketentuan UU Nomor 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Namun, Fickar menduga, tak digunakannya dua instrumen hukum tersebut dengan menerapkan karantina wilayah lantaran pemerintah tidak berani menanggung risiko membiayai masyarakat. 

Baca: Dubes Tantowi: Aksi Penembakan di Freeport Dapat Buka Mata Banyak Pihak Soal KKB

"Nampaknya pemerintah tidak berani menanggung risiko membiayai masyarakat, padahal berapa biaya yang dikeluarkan untuk proyek-proyek ambisius seperti pemindahan ibukota. Ini betul betul melawan akal sehat," katanya.

Fickar khawatir pemberlakuan darurat sipil bakal mengarah pada pemerintahan otoritarian karena darurat sipil dan darurat militer mengedepankan kekuasaan. 

Baca: Jokowi Resmi Tetapkan Status Darurat Kesehatan Masyarakat, Imbau Pemda Tak Ambil Kebijakan Sendiri

Sejumlah aturan yang tercantum dalam darurat sipil memberikan kewenangan kepada penguasa darurat untuk melarang atau memberikan izin digelarnya pertemuan, membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu, membatasi orang berada di luar rumah hingga berhak memeriksa badan dan pakaian setiap orang yang dicurigai. 

Hal tersebut berbeda dengan karantina wilayah yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengedepankan perlindungan pada masyarakat. 

Dalam aturan itu disebutkan, selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait

"Jadi sangat nampak strategi dan paradigma berpikirnya apa yang dihindari dan apa yang dipertahankan. Pemerintahan ini lebih menentingkan ekonomi dan investasi ketimbang keselamatan rakyatnya, padahal keselamatan rakyat itu konstitusi tertinggi sebuah negara," kata Fickar.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan