Virus Corona
Pandemi Covid-19 Berakhir Jika Jumlah yang Meninggal Semakin Menurun Sampai Dua Minggu
Manakala yang meninggal semakin turun dan bisa bertahan sekitar dua minggu itu tanda pandemi akan berakhir.
Editor:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Kapan pandemi Covid-19 bakal berakhir? Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan Prof Dr dr Yuwono M Biomed menyatakan Covid-19 ini akan berakhir jika yang meninggal semakin menurun dalam dua minggu.
"Jadi yang harus dilihat pandemi ini akan berakhir jika yang meninggal semakin menurun sampai dua minggu, itu baru berakhir," kata Prof Yuwono saat Live Talk di Sumsel Viritual Fest 2020 yang diadakan Tribun Sumsel dan Sriwijaya Post, Jumat (24/4/2020).
Menurutnya, berakhirnya pandemi itu harus dilihat dari tingat kematian.
"Misalnya kalau Satgas Covid-19 di tingkat pusat bilang hari ini jumlah positif bertambah sekian, itu jangan dipedulikan. Yang harus dicermati berapa yang meninggal pada hari itu," kata Yuwono.
Manakala yang meninggal semakin turun dan bisa bertahan sekitar dua minggu itu tanda pandemi akan berakhir.
Ia mencontohkan, Indonesia masih naik tinggi angka kematiannya.
Pada 19 April 2020 ada 46 per hari. Lalu empat hari terakhir ini mulai menurun, paling tinggi yang meninggal dalam sehari jumlahnya 26.
Harapanya kalau ini bisa bertahan sampai dua minggu ke depan kemungkinan pandemi akan berakhir.
"Jawabnya saya bukan sembarang, contohnya Italia itu pemimpin dan rakyatnya agak lega karena tertinggi hampir 1.000. Sekarang lebih dua minggu ini di angka berkisar 400. Tidak menunjukkan lagi angka kematian 1.000 per hari," katanya.
Baca: 22 Rumah Sakit di Indonesia Uji Klinis Empat Obat Covid-19, Remdesivir Masuk Kategori Potensial
Lain halnya dengan Amerika Serikat (AS), masih terus naik.
Kenaikan jumlah pasien positif Covid-19 justru bisa menggambarkan penyebarannya.
Diungkapkan, Covid-19 nama resminya SARS Cov 2, sehingga sebelumnya ada SARS Cov 1 (2002).
SAR Cov 2 disebut novel yang artinya benar-benar baru dan berbeda dari asal muasalnya.
Bedanya, SARS Cov 1, dari 100 orang yang meninggal 35. Sedangkan SARS Cov 2 yang meninggal hanya dua sampai empat, tapi penularanya ratusan kali lebih hebat dari SARS Cov 1.
Lalu apakah perubahan mutasi tadi disengaja apa alami?
Lalu data yang diminta di Wuhan bukan tentang perubahan mutasi ini melainkan berkaitan dengan geno tyiping.
Di Wuhan sekarang sudah ada uji klinis vaksin. Uji klinis ada dua yaitu uji keamanan dan sudah berhasil.
Lalu uji kemanjuran bahkan ada orang usia 80 tahun ikut uji, karena ini aman.
Oleh karena itu Presiden AS Donald Trump mengatakan China menutupi data sehingga memenangkan kompetisi untuk mendapatkan vaksin.
Jadi jangan salah yang ditanyakan itu bukan asal muasal dari virus melainkan tentang vaksin.
Baca: Tanggapan Cucu Soemantri Terkait Jabatan sang Anak di Struktur Organisasi LIB
Bukan Obat Tapi Vaksin
Menurutnya, ada juga tulisan yang menyebut naif SARS Cov ini baru ada sekarang, padahal sudah ada di 1960-an.
Virus corona ini ada empat yaitu alfa, beta, gama, delta tapi bukan Covid.
"Di suatu wilayah wabah bisa berakhir kalau kondisi idealnya tercipta. Kondisi ideal adalah orang di wilayah itu jangan ke luar dan orang luar jangan masuk,” katanya.
Seperti di Cina dimulai awal Januari, 19 Februari akselerasi, lalu 28 Maret sampai puncak. Dan awal April mulai membuka daerah Wuhan.
"Bukan berarti sekarang tidak ada, masih ada tapi grafiknya jadi di bawah. Jadi intinya sekarang ini memang kita sedang naik tapi harapannya tingkat kematian semakin menurun," katanya.
Yuwono menegaskan pada prinsipnya semua tidak ada obatnya.
"Obat antivirus kerjanya ada dua yaitu menghambat dia masuk dan ketika sudah masuk mengganggu untuk tidak memperbanyak diri. Tapi tidak menonaktifkan virus," katanya.
Baca: Sambut Ramadan, Pertamina Pastikan Pasokan BBM dan Elpiji di Jawa Timur Aman
Ia mencontohkan penderita HIV yang menjalani pengobatan. Virusnya hanya berkurang bukan hilang. Karena sejatinya tidak ada antivirus yang ada hanya vaksin.
"Vaksin tugasnya merangsang imunitas di atas kesaktian virus," jelasnya.
Mengenai terapi plasma, menurutnya bukan hal baru karena sudah ada sejak 100 tahun lalu.
Dalam terapi itu orang yang mempunyai imunitas d iatas kesaktian virus, dipisahkan darah merah, darah putih, dan plasma nya.
Plasmanya dimasukkan ke orang yang sakit. Namun ujung-ujungnya sesuai imunitas masing-masing. Contoh obat klorokuin untuk menghambat Covid-19 di tubuh manusia dan untuk mengganggu virus di dalam tubuh pasien.