Kamis, 28 Agustus 2025

Virus Corona

Angka Kematian Harian karena Covid-19 di RI Pecahkan Rekor Tertinggi, Capai 127 Orang

Ini merupakan kenaikan tertinggi setelah sebelumnya kenaikan tertinggi tercatat pada Rabu (15/7/2020) lalu dengan angka sebanyak 87 orang meninggal

Tangkap layar channel YouTube BNPB
Juru Bicara (Jubir) Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona (Covid-19), Achmad Yurianto 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 mencatat angka tambahan kematian pada hari ini, Minggu (19/7/2020).

"Meninggal sebanyak 127 orang, sehingga total menjadi 4.143," kata Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto dalam siaran BNPB, Minggu (19/7/2020).

Baca: China Belum Bebas dari Covid-19, Ditemukan 16 Kasus Baru di 3 Provinsi

Ini merupakan kenaikan tertinggi setelah sebelumnya kenaikan tertinggi tercatat pada Rabu (15/7/2020) lalu dengan angka sebanyak 87 orang meninggal.

Setelahnya, angka kematian karena Covid-19 adalah 76 orang, 84 orang, dan terakhir pada 18 Juli 2020 adalah 59 orang.

"Mari pahami bahwa proses penularan masih terus terjadi. Oleh karena itu patuhi protokol kesehatan," katanya.

Meski demikian, hari ini juga tercatat kasus sembuh sebanyak 2.133 orang sehingga total sembuh 45.401 orang.

Seperti diketahui, ini menjadi kedua kalinya angka tambahan sembuh lebih tinggi ketimbang angka positif.

Setelah sebelumnya angka sembuh lebih tinggi dari kasus positif terjadi pada Jumat (17/7/2020) lalu, dengan angka sembuh 1.689 pasien.

Angka 2.133 juga menjadi rekor tertinggi tambahan kasus sembuh pasien Covid-19.

Baca: IDI kembali Berduka, Dua Dokter Terkonfirmasi Covid-19 Meninggal Dunia, Satu Sempat Dirawat di Solo

Adapun selisih angka tambahan sembuh dan kasus baru hari ini sebanyak 494 orang.

Sementara tambahan kasus positif hari ini sebanyak 1.639 kasus, sehingga total kasus positif mencapai 86.521 orang.

Lampaui Jumlah Kasus Covid-19 di China

Penyebaran virus corona di Indonesia masih terbilang tinggi. Hal itu dapat dilihat dari laporan kasus harian setiap sore.

Berdasarkan data pemerintah Indonesia hingga Sabtu, (18/7/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui ada 1.752 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir.

Penambahan itu menyebabkan saat ini total ada 84.882 kasus Covid-19 di Tanah Air, terhitung sejak pencatatan pasien pertama pada 2 Maret 2020.

Meskipun tiap hari pemerintah selalu melaporkan adanya penambahan kasus, namun kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman penyakit ini dinilai mulai kendur.

Baca: 5 Provinsi Ini Nihil Kasus Baru Covid-19 per 19 Juli

Hal itu dapat dilihat dengan mulai banyaknya aktivitas di luar rumah dan sejumlah warga yang tidak tertib menggunakan masker.

Meragukan data

Sementara itu seperti diberitakan Kompas.com (20/5/2020) Lembaga Survei Roda Tiga Konsultan merilis hasil survei tentang pandangan masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19.

Berdasarkan hasil survei by phone terhadap 1.200 responden pada 7-17 Mei 2020, tercatat 51,8 persen menyatakan ragu-ragu dan tidak percaya dengan data yang dikeluarkan pemerintah terkait jumlah pasien positif, meninggal, dan sembuh dari Covid-19.

Sementara, sebanyak 45,2 persen responden percaya dengan data yang dirilis pemerintah tersebut.

Belum lagi dengan sejumlah masyarakat yang menyebut bahwa virus corona adalah buatan manusia dan hanya sebuah konspirasi.

Mengenai hal tersebut, Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mengatakan, persoalan utama saat ini adalah tata kelola komunikasi publik pemerintah yang menjadi sumbu persoalan.

Menurut Fajar, Pemerintah gagal dalam promosi kesehatan untuk membangun "awareness" terhadap ancaman Covid-19 kepada masyarakat.

Hal itu menurutnya dapat dilihat dari statement para pejabat pemerintah di awal masa pandemi.

Fajar menyebut, komunikasi publik dari pemerintah menurutnya gagal mengurangi ketidakpastian terkait Covid-19.

Padahal, kepastian dibutuhkan masyarakat, terutama untuk edukasi bahaya serta meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan yang dibuat pemerintah.

"Sejak awal, telah terjadi kekacauan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah. Ini dimulai ketika di masa awal pandemi, pejabat pemerintah 'cengengesan' bahkan 'denial' terhadap ancaman Covid-19," kata Fajar saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/7/2020).

Baca: Anji Anggap Covid-19 Tidak Berbahaya, Tuai Beragam Komentar, Trending Topic di Twitter

Dia menilai kekacauan komunikasi publik pemerintah dimulai saat sejumlah pejabat meremehkan ancaman virus ini dengan becanda.

Termasuk Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto yang menyepelekan permodelan penyebaran virus di masa awal pandemi dari ahli luar negeri.

"Artinya, sejak awal kebijakan pemerintah tidak berbasis sains. Ini terus berlarut dengan penggunaan istilah yang tidak konsisten, yang tentu saja membuat komunikasi publik pemerintah justru gagal mengurangi ketidakpastian," kata Fajar.

Presiden perlu turun langsung

Terlepas dari sifat virus corona yang mudah menular, dan kenyataan bahwa masih banyak masyarakat yang mengabaikan risiko penularan, komunikasi publik yang buruk dari pemerintah juga berimbas terhadap tingginya kasus.

"Sejak awal, seharusnya Kementerian Kesehatan menjadi ujung tombak. Namun kepemimpinan di kementerian ini berjalan dengan buruk. Menteri kesehatan bicara ke media massa dengan pernyataan yang informasinya justru menambah ketidakpastian," kata Fajar.

Dalam kondisi saat ini, Fajar menilai, seharusnya presiden turun langsung, karena kebijakan tata kelola penanganan bencana, termasuk tata kelola komunikasi publik, berlangsung lintas kementrian dan lembaga.

"Kita lihat banyak kementerian yang gagal menangani persoalan akibat pandemi, seperti Kementerian Kesehatan, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Fajar.

Ia menilai, Kementrian Tenaga Kerja gagal mengatasi persoalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi akibat pandemi, sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menurutnya sejak awal tidak jelas dalam kebijakan pembelajaran di masa pandemi.

Untuk memperbaiki kekusutan komunikasi publik pemerintah, Fajar menyebut, solusinya adalah presiden harus turun tangan langsung dan melakukan pembenahan terhadap kabinet.

"Menteri yang gagal harus diganti dengan yang sosok yang tangkas mengatasi pandemi dan punya kemampuan Komunikasi publik yang bagus. Menteri yang cengengesan sudah tidak layak, karena tidak memiliki kredibilitas lagi di depan publik," kata Fajar.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan