Virus Corona
Mahfud MD Tanggapi Kritik Terhadap Pelibatan TNI-Polri dalam Menangani Covid-19
Mahfud tidak mempermasalahkan para pihak yang mempersoalkan pelibatan TNI dan Polri dalam penanganan covid-19.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi kritik sejumlah masyarakat dan sejumlah peneliti terhadap pelibatan TNI dan Polri dalam penanganan Covid-19.
Mahfud tidak mempermasalahkan para pihak yang mempersoalkan pelibatan TNI dan Polri dalam penanganan covid-19.
Menurutnya perbedaan pendapat boleh-boleh saja.
"Kalau covid ini nampaknya, tak ada persoalan TNI-Polri terlibat, justru diharapkan peran mereka yang banyak untuk penertiban ini. Jadi tidak apa-apa ada yang beda pendapat, boleh saja," kata Mahfud dalam konferensi pers secara daring pada Jumat (7/8/2020).
Menurutnya persatuan dan kebersamaan diperlukan dalam menangani pandemi covid-19.
Dengan demikian pelibatan TNI dan Polri tidak perlu dipertentangkan.
"(Penanganan) Covid-19 ini memerlukan kebersatuan, kebersamaan. Tidak perlu dipertentangkan harus sipil, harus )olri, atau Polri aja. Di dalam rapat-rapat gugus tugas sudah disepakati TNI dan Polri turun tangan dan membantu sepenuhnya untuk covid ini. Baik dalam penyaluran bantuan-bantuan sosial agar tak jadi penyelewengan hingga tingkat terendah, maupun penegakan disiplin protkol kesehatan itu. Jadi tak apa-apa," kata Mahfud.
Baca: Mahfud Akan Kumpulkan Menteri dan Seluruh Kepala Daerah Bahas Inpres Penegakan Protokol Kesehatan
Dineritakan sebelumnya Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, meminta pemerintah meninjau rencana pelibatan TNI dalam pendisiplinan pelaksanaan protokol kesehatan pada saat new normal atau kenormalan baru.
Menurut dia, pemerintah seharusnya menangani pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) berlandaskan kebijakan kesehatan publik berbasis sains.
Selain itu, pelonggaran kekarantinaan kesehatan harus dilakukan berbasis data.
"Menghapus dan membatalkan kebijakan dengan pendekatan keamanan untuk menangani Covid-19 termasuk rencana pelibatan TNI dalam new normal," kata Muhammad Isnur, dalam keterangannya, Selasa (2/6/2020).
Selain itu Peneliti Bidang Pertahanan dan Keamanan Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Diandra Megaputri Mengko menilai pemerintah perlu meninjau ulang pelibatan militer dalam kenormalan baru.
Hal tersebut disampaikan Diandra dalam artikel berjudul "TNI dan Kenormalan Baru" pada kolom laman resmi P2P-LIPI Edisi Khusus covid-19, politik.lipi.go.id, yang diunggah pada Selasa (2/6/2020).
Dalam tulisannya, Diandra di antaranya menilai pemerintah tidak menggunakan skema yang telah ditentukan untuk pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) khususnya untuk membantu kepolisian dan pemerintah mengawal fase kenormalan baru sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI Nomor 34/2004.
Mengacu pada UU tersebut, menurut Diandra, pelibatan militer baru dapat dilakukan jika ada keputusan politik negara yakni kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR.
Mekanisme tersebut antara lain rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana tertera dalam penjelasan Pasal 5 UU TNI.
Menurutnya, pengabaian terhadap ketentuan hukum semacam ini bukan baru kali ini saja terjadi.
Berdasarkan catatannya, sebelumnya pemerintah telah berulang kali mengabaikan unsur keputusan politik negara dalam berbagai pelaksanaan OMSP dengan dalih telah ada perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dengan instansi sipil terkait.
Ia menilai kondisi itu menimbulkan ironi tersendiri, terlebih tim gabungan memiliki tugas untuk mendisiplinkan warga terhadap aturan yang berlaku.
Baginya, terlepas dari persoalan legal-formal, pengabaian terhadap keputusan politik negara juga mengandung masalah lain.
Hal tersebut menurutnya menyebabkan tidak adanya acuan ataupun skema yang dapat digunakan untuk mengukur pelibatan militer dalam melaksanakan tugas selain perang.
Dalam konteks itu setidaknya Diandra menilai ada tiga potensi permasalahan yang bisa muncul.
Pertama, tidak ada kejelasan sampai kapan militer akan terlibat dalam tugas pendisiplinan warga yang berpotensi militer bisa selamanya terlibat dalam tugas-tugas pendisiplinan warga.
Menurutnya apabila hal itu berlangsung secara berlarut-larut maka akan menimbulkan kerancuan antara fungsi pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum yang dicampuradukkan menjadi satu.
Kedua, tidak ada penjelasan atas urgensi atau alasan pelibatan militer yang menyebabkan sulitnya menilai proporsionalitas pelibatan yang diperlukan.
Ketiga, tidak ada kejelasan perhitungan atas dampak dari tugas pengawalan ini terhadap kesiapan militer.
Sehingga menurutnya pengerahan pasukan secara besar-besaran untuk mengawal fase kenormalan baru sedikit banyak akan berdampak pada kesiapan militer dalam mengemban tugas utama mereka untuk menjaga kesiapan perang.
Menurutnya berbagai potensi persoalan itu menunjukkan bahwa rencana pelibatan militer dalam fase kenormalan baru belum dibarengi dengan indikator yang rigid dan terukur.
"Dalam konteks itu, pemerintah perlu meninjau ulang persiapan pelibatan militer dalam kenormalan baru. Pelibatan militer memang mungkin dilakukan. Namun hendaknya hal itu dilakukan dengan pertimbangan yang matang terhadap aspek mitigasi krisis, dampak terhadap masyarakat, dampak terhadap profesionalisme militer itu sendiri. Serta kesesuaian dengan ketentuan hukum," kata Diandra.