Virus Corona
Firli Bahuri: KPK Tidak Mendukung Pola Vaksin Gotong Royong Individu Melalui Kimia Farma
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mendukung program vaksin berbayar individu melalui PT Kimia Farma Tbk.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mendukung program vaksin berbayar individu melalui PT Kimia Farma Tbk.
Ketua KPK Firli Bahuri menilai penjualan vaksin melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki risiko tinggi meski sudah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021.
"KPK tidak mendukung pola vaksin GR (Gotong Royong) melalui Kimia Farma karena efektifitasnya rendah sementara tata kelolanya berisiko," kata Firli dalam keterangannya, Rabu (14/7/2021).
KPK, dikatakannya, mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.
"Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, lembaga organisasi pengusaha atau asosiasi," kata Firli.
Kimia Farma dan Masalahnya
Dihubungi terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengingatkan bahwa pada April 2021 lalu, PT Kimia Farma Diagnostika, cucu usaha PT Kimia Farma Tbk, terlibat dalam kasus mengedarkan antigen palsu di lingkungan Bandara Kualanamu, Medan.
Polres Medan menetapkan lima pegawai perusahaan tersebut sebagai tersangka, termasuk di antaranya Branch Manager Picandi Mascojaya.
Menteri BUMN Erick Thohir juga memecat seluruh direksi Kimia Farma menyusul kejadian tersebut.
"Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, belum ada investigasi menyeluruh atas tindakan daur ulang antigen bekas," kata Egi lewat keterangan tertulis, Rabu (14/7/2021).
Baca juga: Kemenkes: Pelaksanaan Vaksinasi Berbayar untuk Individu Menunggu Petunjuk Teknis
Egi memaparkan, pada tahun 2020, investigasi yang dilakukan Majalah Tempo menemukan produk alat tes cepat Covid-19 yang diimpor Kimia Farma dari perusahaan Belanda, Inzek Internasional, tidak memiliki akurasi yang mencukupi.
Investigasi Tempo juga menemukan produksi tidak dilakukan di Belanda, melainkan di Cina.
"Akibatnya, Kimia Farma terpaksa menghentikan proses distribusi dan ribuan alat tes cepat terbengkalai di gudang Kimia Farma," kata Egi.
Ia mengatakan, sepanjang pandemi Covid-19, Kimia Farma juga kerap mengedarkan obat-obat yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19, tetapi belum terbuktikan secara klinis efektifitasnya.
"Obat-obat tersebut antara lain avigan, chloroquine, dan wacana distribusi ivermectin yang mulai berkembang sejak pertengahan Juni lalu," ujarnya.
Baca juga: Kemenkes Jamin Vaksinasi Berbayar Tak Ganggu Program Pemerintah
Selain itu, lanjutnya, PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) menunjukan Kimia Farma berada dalam masalahan finansial.
Kata Egi, dalam pers rilis yang dikeluarkan pada Juli 2020, disebutkan bahwa Kimia Farma menarik fasiitas kredit yang digunakan sebesar Rp20 trilliun per 30 Juni 2020.
"Hingga pertengahan 2020, Kimia Farma juga belum melunasi medium term notes (MTN) sejak tahun 2017 sebesar Rp400 miliar, yang seharusnya telah jatuh tempo pada 15 September 2020," kata dia.
Sebelumnya, PT Kimia Farma Tbk sebagai pihak penyedia vaksin gotong royong menunda program vaksin berbayar bagi individu.
Program vaksin berbayar ini yang sejatinya berjalan pada Senin (12/7/2021).
Berdasarkan rencana awal, jenis vaksin Covid-19 yang digunakan untuk vaksinasi berbayar sama seperti vaksin gotong-royong perusahaan, yaitu Sinopharm.
Baca juga: Kepala Staf Presiden: Vaksinasi Berbayar Dapat Kurangi Beban Anggaran
Harga beli vaksin dalam program vaksinasi gotong royong individu ini sebesar Rp321.660 untuk satu dosis.
Peserta vaksinasi juga akan dibebankan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp117.910 per dosis.
Dengan demikian, setiap satu dosis penyuntikan vaksin peserta harus mengeluarkan Rp439.570.
Total pembayaran untuk satu orang dengan dua kali dosis vaksin yakni sebesar Rp879.140.