Sabtu, 20 September 2025

Berkunjung ke Kuil 'Sumber Matahari' Jepang: Bangunan Terbentuk Tanpa Paku Sama Sekali

Dipercaya sebagai tempat Dewa Matahari, Amaterasu Omikami bersemayam. Inilah pula kuilnya keluarga kaisar Jepang.

Richard Susilo
Ise Jingu, kuil yang lama akan segera dihancurkan akhir Maret ini. 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo di Tokyo

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kuil pengikut ajaran shinto ini yang tertua dan paling dihormati, paling dihargai di Jepang, Kuil Ise Jingu di kota Ise, perfektur Mie. Tidak ada orang Jepang yang tidak tahu kuil anggun ini.

Dipercaya sebagai tempat Dewa Matahari, Amaterasu Omikami bersemayam. Inilah pula kuilnya keluarga kaisar Jepang. Sebelum Tribunnews.com menuju ke kuil tersebut belum lama ini, banyak sekali teman mengingatkan berbagai hal.

Pakailah baju resmi, pakai dasi, set lengkap baju terbaikmu dengan jas dan sepatu yang rapi serta bagus. Berpakaian sopan bahkan sampai rambut tolong diatur dengan baik pula. Harus berdandan rapi sekali karena yang akan kita temu adalah Dewa Matahari.

Larangan paling keras adalah dilarang memotret atau mengabadikan dalam bentuk apa pun setelah kita memasuki pagar lingkungan kuil tersebut. Hal itu dianggap tidak sopan dan kalau ketahuan petugas pasti akan mendapat teguran keras.

Semua larangan yang dianggap kurang sopan tersebut sebenarnya masuk akal, karena saat kita mau bertemu Dewa Matahari, bukan hanya fisik manusia, tetatpi pikiran dan hati manusia sudah harus siap untuk sepenuhnya menghadap sang Dewa Matahari.

Penuh kerinduan dan kepolosan, bersih dan dijauhi dari segala pikiran duniawi, termasuk keinginan memotret atau mengabadikan tempat tersebut. Itulah dasar pemikiran utamanya, memoloskan hati dan fokus memusatkan perhatian kepada sang Dewa Matahari.

Tempat Dewa Matahari tersebut terdiri dari satu lingkup kuil biasa, tidak besar, dikelilingi batu putih berpola ada hitamnya sedikit mengitari kuil tersebut. Sebelum kita memasuki tempat sakral tersebut, ada tempat "pembersihan" dilakukan oleh sang "Penjaga" tempat sakral dengan pakaian lengkap tradisional penjaga kuil Shinto tersebut.

Di tempat "pembersihan" jiwa dan hati diri kita ini, harus berpakaian lengkap dengan sepatu resmi dan penampilan serta rambut yang resmi serta baik. Tidak boleh ada penutup muka (misalnya pilek biasanya kita memakai masker, harus dilepas). Tidak boleh ada mufler atau selendang, tidak boleh ada hiasan apa pun. Harus polos dan bersih semua. Melambangkan kepolosan hati kita di hadapan Dewa Matahari.

Kita berdiri di depan sang pendeta Shinto, lalu membungkuk, menghormatnya beberapa waktu, lalu dia akan "memberkati" kita sambil memegang semacam piring bulat kecil dari batu agak hitam. Satu tanda atau lambang pembersihan kita dan hati kita dari segala keduniawian. Setelah kita "dibersihkan", kita mulai berjalan mengikuti pendeta Shinto tersebut yang berjalan di paling depan.

Memasuki tempat sakral Dewa Matahari, di pintu gerbang, masuk selalu dari area sebelah kiri, lalu perlahan kita behenti dan menunduk, menghormat dengan hening, berusaha menyatukan hati kita dengan kesakralan setempat. Lalu kita mulai berjalan dan terus mengikuti sang pendeta Shinto.

Agak ke tengah lalu kita berhenti dan pendeta Shinto mulai memberitahukan dimulainya acara pemujaan kepada Dewa Matahari. Tangan dibuka, lalu ditepokkan bersama dua kali di depan muka kita, kemudian dengan kedua tangan terbuka masih bersatu seperti berdoa, kita membungkuk dan menghormat kepada sang Dewa Matahari beberapa saat.

Selesai acara penyembahan tersebut, selesai pulalah acara kunjungan ke kuil Dewa Matahari. Kita berjalan berbalik pelan-pelan dan kembali ke luar dari pintu yang kita masuki tadi.

Memang keheningan dan kesakralan saat memasuki area kuil suci ini hati menjadi deg-degan, sedikit merinding karena memang kita berada di tempat sakral, tempat Dewa Matahari.

Kuil di sana selalu diganti, dibangun baru setiap 20 tahun. Apabila kita anggap kanan dan kiri, kalau sekarang kuil yang baru di kanan, maka kita bisa lihat kuil yang lama di kiri. Dan kuil yang lama itu pada akhir Maret 2014 ini rencana dihancurkan sehingga nantinya hanya ada tanah lapang saja. Sedangkan kuil yang baru telah berdiri.

Semua pembuatan kuil tersebut tanpa paku, tetapi keahlian dari turun temurun dengan mengaitkan satu dan lainnya kayo yang dibolongin menjadi satu kaitan. Bangunan kuil itu memang di desain tanpa paku.

Semua dari bahan alam kayu yang ada di tempat tertentu. Batu-batuan di sekitarnya pun tidak bisa  diambil dari tempat sembarangan tetapi dari tempat yang sudah ditentukan bersama.

Kuil yang dihancurkan tidak dibuang begitu saja, tetapi diberikan kepada pihak-pihak yang punya hubungan kuat dengan pihak kuil tersebut. Orang atau pihak tetangga sekali pun, kalau tak punya hubungan keterkaitan kuat dengan kuil tersebut, juga tidak akan bisa memperoleh kayu-kayu bekas hancuran kuil yang lama.

Semua barang lama itu tetap dianggap sakral dan hanya pihak yang punya keterkaitan kuat dengan kuil Ise Jingu bisa memperolehnya gratis. Jadi tidak ada yang terbuang percuma semua barang bekas dari hancuran kuil yang lama.

Pelestarian alam terutama kayu dan pohon sangat dijaga tinggi di sana. Bahkan pembuatan pagar pembatas kuil, harus mengalah atas pohon besar yang menghalangi pagar area kuil tersebut. Pohon betapa besarnya sekali pun tidak boleh ditebang. Kecuali yang patah hancur jatuh rontok karena akibat angin taifun misalnya, ya kemudian dipotong dirapikan dan dibersihkan.

Pohon-pohon di sekitar area Ise Jingu yang luasnya puluhan hektar tersebut, semua milik Yayasan Shinto yang bersangkutan, dilestarikan dengan baik sehingga kini banyak yang berusia 800 tahun.

Sangat tua memang. Selain itu juga dilakukan penghijauan dengan maksud kalau yang pohon tua sudah hancur secara alamiah, maka sudah ada penghijauan, regenerasi pengganti pohon yang muda melanjuti penghilauan hutan yanag ada.

Tempat yang asri dan terjaga, serta dikelola dengan baik baik oleh para pengurus maupun para sukarelawan setempat, membuat kita senang sekali berjalan-jalan di sana, terasa sejuk dan indah alamiah sekali.

Di kalangan kelompok Shinto dengan ratusan kuil yang ada di Jepang, mereka bersatu dalam satu Federasi kuil. Namun Kuil Ise Jingu saja yang tidak masuk Federasi tersebut.

Meskipun demikian sangat dihormati dan tetap dianggap sebagai yang Tertua atau Dituakan di atas kuil-kuil lainnya, sehingga semua kuil sangat hormat kepada Kuil Ise Jingu ini yang sangat dipercaya sebagai sumber matahari Jepang.

Lalu berapa dana yang dibutuhkan untuk pengelolaan semua itu? Diperkirakan sekitar 50 miliar yen di mana dana tersebut berasal dari masyarakat, pribadi atau perusahaan. Tidak ada dari pemerintah karena memang tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Karena kuil tidak membayar pajak.

Di sinilah mungkin satu hal menarik. Kuil menjual berbagai hal tetapi tidak membayar pajak. Pengelolanya yang dianggap seperti perusahaan yang menjadi obyek harus membayar pajak.

Tetapi saat menghadapi petugas pajak biasanya sering terjadi perbedaan pendapat. Pihak petugas pajak ingin menarik pajak sebenarnya, pihak pengelola kuil seringkali menganggap tak ada uang sehingga pembayaran pajak kecil sekali atau bahkan tak ada pembayaran pajak.

Padahal dalam kenyataan kita sering lihat seseorang banyak membeli berbagai produk buatan yang dijual di kuil, entah itu sebagai jimat atau "pegangan" lain dengan harga yang tidak murah.

Jumlah pengunjung pun ribuan orang. Logikanya memang harus bayar pajak. Kenyataan tidak bayar pajak. Aneh tapi nyata, inilah dunia ritual Jepang yang kenyataan berbenturan dengan dunia pajak realitas manusia umumnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan