Tenang Sebelum Badai? Para Ahli Khawatir atas Apa yang Terjadi Setelah Puncak Covid-19
Covid-19 hantam sistem kesehatan beberapa negara Eropa dan membuat para ahli berebut cari tahu kapan akan mencapai puncaknya. Tenang sebelum badai?
TRIBUNNEWS.COM - Pandemi covid-19 mirip gelombang pasang raksasa.
Covid-19 menghantam sistem kesehatan beberapa negara Eropa dan membuat para ahli berebut untuk mencari tahu kapan akan mencapai puncaknya.
Mereka bertanya-tanya apakah ini adalah kondisi tenang sebelum badai covid-19 muncul?
Mengutip dari News18, gelombang covid-19 tampaknya telah mereda di China selama beberapa hari terakhir.
Baca: Mengenal APD yang Digunakan Dokter dan Perawat untuk Mengurangi Risiko Tertular Pasien Virus Corona
Hingga hari ini, Senin (23/3/2020) belum ada kasus lokal covid-19 di rekam di China.
Tetapi, spesialis kesehatan masyarakat Perancis dan ahli epidemiologi Antonie Flahault dalam jurnal medis Lancet bertanya-tanya, apakah yang lebih buruk belum datang?
Baca: Wisma Atlet Jakabaring dan Asrama Haji Palembang Disiapkan Jadi Ruang Isolasi Covid-19
Baca: BREAKING NEWS - Pastikan Persiapan Penanggulangan Covid-19, Maruf Amin: Sudah Cukup Siap
Untuk memahami kompleksitas bagaimana pandemi berkembang, perlu kembali ke periode pasca Perang Dunia I.
Saat itu, tiga gelombang Flu Spanyol menewaskan hampir 50 juta orang, lebih banyak dari perang besar itu sendiri.
Lalu flu itu dilaporkan tiba-tiba menghilang.
Lebih lanjut, pada akhir 1920-an, William Ogilvy Kermack dan Anderson Gray McKendrick mengembangkan model dalam upaya untuk memahami dinamika pandemi.
Ambang Batas Kekebalan
Kermack dan McKendrick menemukan bahwa pandemi tidak berakhir karena kehabisan orang yang rentan tetapi karena jumlah infeksi meningkat, ambang batas yang disebut kekebalan kawanan tercapai.
"Kekebalan kawanan adalah proporsi orang yang diimunisasi terhadap virus (baik melalui infeksi atau vaksinasi bila ada) yang perlu dicapai untuk menghentikan risiko," kata Kepala Institut Kesehatan Global Universitas Jenewa, Flahault.
Proporsi itu tergantung pada kemudahan penularan virus dari orang yang terinfeksi ke orang sehat.
Semakin menular penyakit, semakin tinggi jumlah orang yang diimuniasasi.
"Untuk covid-19, harus ada 50 dan 66 persen orang yang terinfeksi dan kemudian dibuat kebal untuk menghilangkan pandemi," katanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, tingkat penularan itu sendiri terbuka dan bervariasi.
Sesuai dengan jenis tindakan pencegahan yang diambil, seperti karantina, dan kondisi cuaca.
Ia menambahkan, apabila orang terinfeksi rata-rata kurang dari satu orang, maka itu akhir dari pandemi.
Baca: Sempat Ditutup Akibat Wabah Corona, Sekolah di Jepang Segera Dibuka Lagi
Baca: Virus Corona Merebak di Filipina, Manny Pacquiao Merasa Bertanggung Jawab Bantu Negaranya
Kebangkitan
Tapi, belum tentu itu akhir pandemi, mungkin hanya masa tenang.
Ia menambahkan, masa tenang terlihat di China dan Korea Selatan.
"Ketika bersantai, pandemi dimulai lagi sampai mencapai kekebalan ad-hoc herd," katanya.
"Kadang-kadang selama beberapa bulan atau tahun," ungkapnya.
Lebih lanjut, Kepala Layanan Penyakit Menular Rumah Sakit Pitie Slapetriere di Paris, Profesor Francois Bricaire memperingatkan kemungkinan kebangkitan.
Kemunculan kembali covid-19 adalah suatu kemungkinan terkait akhir kebangkitan musiman," ungkapnya kepada AFP.
Secara terpisah, Sharon Lewin, Ahli Penyakit Menular Australia juga bertanya-tanya tentang kemungkinan kebangkitan.
"Apakah itu akan kembali? Kita tidak tahu," kata Sharon.
"Namun, SARS juga merupakan coronavirus, hilang sepenuhnya mengikuti langkah-langkah social distance, setelah membunuh 774 orang pada tahun 2002 dan 2003.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)