Pemilihan Presiden Amerika Serikat
Cerita Diaspora Indonesia di AS : Selama 4 Tahun Banyak Kekurangan Trump
Agustinus Chandra (53) seorang diaspora Indonesia di AS menilai selama empat tahun kepemimpinan Presiden Trump banyak kekurangan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang arsitek Agustinus Chandra (53) adalah seorang diaspora Indonesia di AS.
Chandra mengatakan selama empat tahun kepemimpinan Presiden Trump banyak kekurangan.
Chandra datang ke tempat pemilihan.
Mencontreng kandidat Pilpres di AS di kertas karton manila warna kuning berukuran besar.
Setelahnya memasukkan kertas ke dalam mesin scanner.
Baca juga: Hasil Sementara Pilpres AS: Donald Trump Unggul di Indiana dan Florida
Pilpres Amerika 2020 sudah digelar lebih dulu di sejumlah negara bagian.
Hal tersebut untuk mencegah penumpukan di hari H, 3 November 2020, yang berpotensi menjadi kluster COVID-19.
Pelaksanaannya ada yang via pos, ada juga yang secara fisik walau dengan sejumlah pembatasan.
Menurut pengalaman Chandra, pemilihan di AS tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Pakai masker, masuk ke tempat pemilihan, mereka pakai tempat space besar, jadinya kan' jaga jarak. Mereka ada vote early, mereka gunakan stadion. Jadi orang bisa jaga jarak, supaya tidak terlalu dekat," ujar Chandra kepada Tribun Network, Rabu (4/11/2020).

Dua kandidat capres adalah Donald Trump dari Partai Republik dan Joe Biden dari Partai Demokrat.
Pemilihan sebelumnya digelar 2016.
Sudah 4 tahun, Trump memimpin AS, di mata Chandra ada beberapa kekurangan.
"Trump pertama kali terpilih pada 2016. Sudah 4 tahun, selama 4 tahun ini orang akan berpikir apa kekurangan dan kelebihan," tuturnya.

Chandra mengibaratkan seperti datang ke restoran.
Pelanggan akan memilah mana restoran yang memiliki banyak kelebihan dan kekurangan.
"Kalau misalnya selama 4 tahun ini lebih banyak kekurangannya ya kita cari yang lebih baik," ucap Chandra.
Apa yang beda ketika Trump memimpin? Chandra melihat kerap terjadi riot atau kerusuhan.
Hal ini dilihatnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi Indonesia.
Namun, di Amerika Serikat, riot baru banyak terjadi di era Trump.
"Ini tidak terjadi sebelumnya. Pada saat pemilihan (Barack) Obama atau Presiden (George) Bush," tutur Chandra.
"Jarang terjadi riot lah atau saling menyerang gitu ya. Ini ada kemiripan (dengan Indonesia). Jadi saya lihat karakternya Presiden Trump itu memakai cara negara dunia ketiga," sambungnya.
Baca juga: Pilpres AS: Donald Trump Unggul di Kansas, Biden Menang di Colorado
Menurut Chandra, Trump ditengarai berkontribusi mempopulerkan istilah fake news atau berita bohong.
Menurut unggahan media sosial dan transkripsi audio yang dimonitor oleh Factbase, Trump telah menggunakan frasa itu sebanyak 2.000 kali sejak pertama kali menuliskannya dalam unggahan di Twitter pada Desember 2016.
"Dia (Trump) bilang "ah lo bikin fake news", jadi berkembang lah fake news. Apa yang dia tidak senang dibilang fake news," ujarnya.
Trump pun dinilai kurang aktif dalam meminimalisir terjadinya gelombang protes yang dipicu penembakan mati pria kulit hitam oleh polisi Amerika Serikat.
Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Philadelphia sejak polisi pada Senin (26/10) waktu setempat menembak mati Walter Wallace (27) yang membawa pisau.
Baca juga: Hasil Survei: Warga Amerika Cenderung Pilih Biden karena Penanganan Covid-19 & Trump karena Ekonomi
Aksi demo tersebut diwarnai bentrokan di mana polisi anti huru hara menggunakan tongkat dan perisai untuk mendorong mundur para pengunjuk rasa yang melemparkan batu bata dan puing-puing lainnya.
Penjarahan dan aksi-aksi kekerasan lainnya juga terjadi.
"Orang hitam mati ditembak, paling tidak dia datang ngomong. Dia tidak pernah melakukan itu, dia malah memperuncing," ucap Chandra.
Soal pandemi pun, menurut Chandra, Trump justru tidak mewajibkan warga AS untuk menggunakan masker.
Karenanya pada pemilihan kali ini, Biden mengkampanyekan seluruh warga AS untuk ikut memilih.
"Karena 2016 tidak banyak vote, makanya kampanye Biden semua orang harus vote," imbuhnya.