Ali Kalora tewas, apakah jadi akhir kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur yang berafiliasi dengan ISIS di Poso?
Tewasnya pimpinan kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur Ali Kalora memunculkan pertanyaan, apakah kelompok teroris itu akan berakhir atau

Tewasnya pemimpin kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Ali Kalora, tidak lantas menghentikan gerakan teror kelompok yang berafiliasi dengan ISIS itu di wilayah Sulawesi Tengah, kata seorang pengamat.
Besar kemungkinan kelompok tersebut akan melakukan upaya regenerasi untuk memilih pemimpin baru.
Untuk itulah, aparat keamanan didesak segera menangkap sisa-sisa dari kelompok MIT dan menutup pintu masuknya anggota terorisme dari tempat lain ke Poso agar proses rekrutmen terhenti.
Ali Kalora adalah 'petinggi' yang tersisa dari kelompok MIT, semenjak Santoso alias Abu Wardah tewas dalam penyergapan aparat keamanan pada 2016 lalu.
Baca juga:
- Siapa Ali Kalora, pemimpin kelompok radikal Poso, yang 'tidak diperhitungkan'
- Kisah Desa Lemban Tongoa yang terusik aksi MIT pimpinan Ali Kalora
- Ali Kalora, 'pimpinan tertinggi' kelompok Mujahidin Indonesia Timur, tewas dalam baku tembak
Dia ditunjuk sebagai pemimpin kelompok itu menyusul diringkusnya pentolan kelompok MIT Basri alias Bagong, di tahun yang sama.
Ali Kalora dan anggota MIT Ikrima tewas dalam baku tembak dengan Satuan Tugas Madago Raya di wilayah pegunungan desa Astina, Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (18/09).
Akhir dari kelompok militan MIT?
Pengamat terorisme dari Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah, Muhammad Khairil, menilai kematian Ali Kalora dianggap tidak serta-merta melemahkan bahkan mengakhiri kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur.
Khairil menduga, MIT akan terus melakukan proses rekrutmen dan doktrinasi di masyarakat.
Hal itu dibuktikan, berdasarkan kilas sejarah, dengan terus beraksinya kelompok bersenjata ini saat pemimpin mereka sebelumnya, Santoso, tewas dan digantikan Ali Kalora, ujar Khairil.
"Kita berharap ini akan selesai. Tapi, jika melihat sejarah, bagaimana pimpinan MIT berganti dari sebelumnya hingga Santoso dan turun ke Ali Kalora. Itu bukan perjalanan 1-2 hari bagi mereka (berganti pemimpin)."
"Kelompok militan seperti ini tidak hanya bergantung pada satu figur simbolik, mereka akan mengupayakan terus proses regenerasi," kata Khairil.
Khairil mencontohkan, sebelum Santoso alias Abu Wardah, pimpinan MIT tewas tahun 2016, Ali Kalora bukan sosok yang diperhitungkan.
Bahkan Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian menyebut, "Ali Kalora jauh di bawah kelasnya Santoso dan Basri."
Namun di kepemimpinan Ali Kalora, kelompok MIT diduga terus melakukan beragam aksi teror.
Pada April tahun lalu, kelompok MIT diduga sebagai pelaku pembunuhan beberapa petani.
Tidak berhenti, kelompok ini juga diduga terlibat dalam kasus penembakan dua anggota polisi saat berjaga di sebuah bank di Poso.
Bahkan dengan brutal, kelompok ini diduga membunuh satu keluarga di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Jumat (27/11) tahun lalu.
Pertengahan tahun ini, kelompok MIT kembali diduga sebagai otak pembunuhan empat petani di perkebunan kopi Desa Kalimago, Lore Timur, Poso.
"Sekarang ada dua pilihan kemungkinan setelah tewasnya Ali Kalora. Pertama, jika mereka yang DPO serta lainnya menyerah, selesai ini 'barang'."
"Tapi kalau keempat DPO masih mengangkat senjata maka saya melihat akan ada pemimpin baru," ujarnya.
Satgas Madago Raya kini memburu empat anggota MIT lainnya yang buron, yaitu Askar Alias Jaid Alias Pak Guru, Nae Alias Galuh Alias Muklas, Suhardin Alias Hasan Pranata dan Ahmad Gazali Alias Ahmad Panjang.
Kapolda Sulteng: Kekuatan MIT tidak akan bertambah
Kepala Polda Sulawesi Tengah, Irjen Polisi Rudy Sufahriadi, selaku Penanggung Jawab Kendali Operasi Satgas Madago Raya, Minggu (19/09), mengatakan setelah tewasnya Ali Kalora, kekuatan MIT tidak akan bertambah.
"Sampai hari ini mudah-mudahan tidak akan bertambah karena mereka tidak punya pimpinan lagi," kata Rudy dalam konferensi pers di Mapolres Parigi Moutong , Sulawesi Tengah, Minggu (19/09).
"Beberapa rekan mengatakan siapa penggantinya (Ali Kalora), tidak ada penggantinya, dan kita akan cari yang empat (DPO) sampai dapat," tambahnya.
Rudy juga menyampaikan agar keempat DPO menyerahkan diri ke Satga Madago Raya guna menghindari munculnya kembali korban jiwa.
Rudy menjelaskan kronologi peristiwa tersebut bermula saat Satgas Mandago Raya mendapatkan informasi intelijen, secara manual ataupun dari teknologi informasi, mengenai posisi Ali Kalora dan Ikrima alias Jaka Ramadhan di Desa Astina.
"Lalu kita cocokan dan kirim dua tim untuk kecepatan, supaya cepat mengejar dan demi kerahasian juga supaya dia tidak kemana-mana."
"Tim itu yang ambush (menyergap), menunggu di sana, terjadi kontak tembak, dan dua meninggal dunia. TKP (tempat kejadian perkara) di perkebunan, tidak jauh dari perumahan juga," kata Rudy.
Polisi juga mengamankan barang bukti berupa satu pucuk senjata api laras panjang jenis M.16, dua buah ransel, satu bom tarik, satu bom bakar, dan lainnya.
Rudy menegaskan, kerja sama intelijen dengan masyarakat terus berjalan. Tujuannya agar siapapun yang bergabung dengan MIT dapat dilihat, dicegah dan ditangkap.
"Untuk itu saya imbau ke masyarakat, jangan ragu-ragu melaporkan ke kami apabila ada kelompok yang bergabung dengan mereka di atas," ujarnya.
Sebelumnya, Sabtu (18/09), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam akun Twitternya menyampaikan bahwa Ali Kalora ditembak mati oleh aparat keamanan.
Mahfud juga meminta masyarakat untuk tenang dalam menyikapi kejadian tersebut.
Apa langkah ke depan?
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah mengatakan terdapat dua upaya yang harus dilakukan oleh aparat keamanan untuk melemahkan bahkan mengakhiri ancaman dari MIT.
"Pertama adalah mengejar keempat DPO, untuk memutus siklus kepemimpinan dan mencegah mereka melakukan pembalasan hingga perekrutan," kata Syaquillah
Kedua adalah aparat penegak hukum perlu menutup pintu masuknya pihak luar, kelompok teroris luar, ke Poso, dan bergabung memperkuat empat orang ini.
"Dua cara itu bergantung dari kesiapan aparat penegak hukum dan peran masyarakat melakukan penganggulangan kelompok MIT," ujarnya.
Sejarah MIT
Kemunculan MIT tidak lepas dari keberadaan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir pada 2008.
Salah satu pimpinan JAT, Abu Tholut, datang ke Poso menjumpai Yasin dan Santoso untuk menjadikan wilayah itu sebagai pusat negara Islam dengan membentuk JAT Poso, cikal bakal MIT.
Yasin berperan sebagai ketua dan Santoso menjadi penanggung jawab pelatihan militer.
Tahun 2010, JAT Poso mengumpulkan senjata dan melakukan pelatihan militer di pegunungan. Dua tahun kemudian, Santoso ditunjuk menjadi pemimpin MIT.
Anda mungkin tertarik dengan:
Sejak saat itu beragam aksi teror terjadi di Sulawesi Selatan, seperti pembunuhan dua anggota polisi dan penembakan tiga anggota Brimob tahun 2012, serta pembunuhan warga sipil tahun 2015
Kemudian tahun 2016, dalam operasi gabungan Tinombala, Santoso tewas dalam baku tembak di pegunungan Desa Tambarana.
Kursi pimpinan kemudian dipegang oleh Ali Kalora hingga Sabtu lalu, ketia ia tewas dalam baku tembak.
Di masa kepemimpinan Ali Kalora beragam aksi terorisme dilakukan.