Kamis, 21 Agustus 2025

Perundungan daring picu korban jiwa, perempuan muda di China bunuh diri setelah dirundung warganet

Budaya kolektivis dan kurangnya tekanan terhadap perusahaan media sosial untuk memastikan keselamatan pengguna telah menyebabkan perundungan

Peringatan: Artikel ini mengandung konten bunuh diri. Kebijaksanaan pemirsa disarankan. Jika Anda dalam kondisi depresi atau memiliki kecenderungan bunuh diri, segera menghubungi layanan kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567, SMS 081281562620, dan alamat email kontak@kemkes.go.id

Enam bulan setelah membagikan fotonya untuk merayakan keberhasilannya masuk sekolah pascasarjana bersama kakeknya yang berbaring di tempat tidur, Zheng Linghua meninggal dunia.

Dalam foto yang dia unggah ke media sosial China, Xiaohongshu, perempuan berusia 23 tahun dengan rambut merah muda ini tampak bersemangat.

Dia mengumumkan kepada dunia bahwa dia telah diterima untuk sekolah musik di East China Normal University.

“Kakek telah menjadi pilar yang mendukung saya sejak saya masih kecil… Salah satu motivasi saya mendaftar pascasarjana adalah agar kakek bisa melihat saya lolos, dan bangga dengan saya,” tulisnya.

Tetapi kegembiraan Zheng tidak berlangsung lama.

Dalam beberapa hari, dia menjadi sasaran perundungan daring. Fotonya dibagikan dengan tambahan keterangan palsu, bahkan sering kali menghinanya.

Dia menjadi sasaran ejekan tanpa henti. Beberapa memanggilnya “gadis malam” dan “roh jahat”.

Tidak jelas bagaimana Zheng meninggal, namun bulan lalu seorang temannya menyampaikan kabar itu di Xiaohongshu: “Karena perundungan daring dan di sekolah, kehidupan Zheng Linghua berakhir pada 23 Januari 2023”.

Pada saat perundungan di dunia maya terjadi di mana-mana, budaya kolektivis China dan kurangnya tekanan terhadap perusahaan media sosial untuk mengatasinya telah membuat perundungan daring merajalela.

Jajak pendapat terhadap lebih dari 2.000 pengguna media sosial di China menemukan bahwa sekitar empat dari 10 responden pernah mengalami beberapa bentuk pelecehan daring.

Sebanyak 16% korban juga memiliki pikiran untuk bunuh diri. Hampir setengahnya mengalami kecemasan, 42% mengalami insomnia, dan 32% mengalami depresi.

Zheng mulanya berencana mengkonfrontasi pelaku dengan tindakan hukum.

Salah satu unggahan di akun Weibo-nya pada September lalu menanyakan “bagaimana cara menuntut orang yang menyerang Anda dari balik layar?”

Tetapi dia kemudian didiagnosis dan menjalani perawatan akibat depresi, yang juga dia ungkapkan di media sosialnya. Zheng juga menceritakan bagaimana dia menghadapi gangguan tidur dan makan.

Pada bulan November, dia membagikan foto dirinya di bangsal rumah sakit dengan keterangan: “berjuang melawan depresi”.

Perundungan daring

Kematian Zheng adalah kasus terbaru dari serangkaian kematian yang berkaitan dengan perundungan online di China.

Pada Januari 2022, Liu Xuezhou dari Kota Xingtai bunuh diri setelah pertemuan dengan orang tua kandungnya berujung getir.

Ketika pertengkaran mereka berlangsung secara daring, beberapa orang menuduhnya egois.

Laki-laki berusia 17 tahun, yang ditinggalkan menjadi yatim piatu pada usia empat tahun, meninggalkan catatan yang merinci pengalaman masa lalunya mengalami perundungan dan depresi.

Seorang guru sejarah bernama Liu Hanbo dari Provinsi Henan Tengah meninggal pada November, tahun yang sama setelah para perundung berulang kali merundung kelas daringnya.

Mereka melontarkan hinaan, memutar musik keras, dan mengirim spam ke grup. Pihak berwenang mengesampingkan dugaan kecurangan dalam kematian Liu, tetapi menyatakan akan menyelidiki apakah dia telah dirundung secara daring.

Bulan lalu, pemengaruh Sun Fanbao bunuh diri. Istrinya mengatakan laki-laki berusia 38 tahun itu berulang kali dihina oleh salah satu pengikutnya hingga dia mengalami depresi beberapa bulan sebelum meninggal.

Sun terkenal pada 2021 setelah mendokumentasikan perjalanannya sejauh 4.000 kilometer dari Shandong ke Tibet dengan traktor.

Kolektivisme dan kurangnya akuntabilitas

Dalam budaya kolektivis di China, mereka yang dianggap melanggar norma cenderung disanksi berat, kata para ahli. Hal yang membuatnya kian buruk adalah budaya malu yang merejalela.

“Perasaan kolektivisme yang kuat di China bisa berarti bahwa perundungan daring, ketika dilakukan sebagai tindakan kekerasan atau agresi simbolis terhadap orang lain di tempat umum, dapat memicu tindakan ekstrem seperti bunuh diri demi menghindari rasa terhina itu,” kata K Cohen Tan, wakil rektor di Universitas Nottingham Ningbo China.

Setelah menelusuri unggahan dan komentar-komentarnya, sulit untuk mengetahui apa yang menyebabkan perundungan terhadap Zheng.

Bisa jadi itu karena rambut merah mudanya yang tidak biasa, yang tampaknya mengganggu beberapa orang yang menyerangnya secara daring.

Yang lainnya menuding dia terlibat asmara dengan seorang laki-laki lansia, kemungkinan merujuk pada kakeknya.

Dr Tan mengatakan para perundung biasanya “menstigma seseorang atas tindakan atau pilihan pribadi mereka” dan itu “kemudian diperparah oleh insting kawanan”.

Efek gabungan itu yang menurut dia “membuat korban merasa tidak berdaya”.

Buku harian Wuhan

Meski kata-kata tajam tidak selalu bermuatan politik, pemerintah China “menoleransi jenis perundungan daring tertentu” oleh nasionalis sayap kanan, kata Fang Kecheng, seorang profesor jurnalisme di The Chinese University Hongkong.

Subjek serangan semacam itu mayoritas merupakan orang-orang yang dianggap mencemarkan citra China di mata dunia.

Michael Berry, yang menerjemahkan Wuhan Diary—jurnal yang diterbitkan oleh penulis Fang Fang selama dia menjalani karantina wilayah akibat Covid di Wuhan—telah menjadi sasaran perundungan semacam itu.

"Beberapa orang mengancam akan membunuh saya dan keluarga saya jika kami kembali ke China," kata Dr Berry dalam wawancara dengan WhyNot, sebuah majalah yang berbasis di AS.

"Banyak dari pesan ini berisi ancaman serius dan memperlihatkan kebencian yang mendalam. Beberapa pengguna mengirimi saya ancaman seperti ini setiap hari."

Fang Fang juga menghadapi beragam reaksi daring. Beberapa menuduhnya memberikan “pedang raksasa” kepada orang asing untuk menyerang China.

Penulis majalah New Yorker, Fan Jiayang dan ibunya juga diserang oleh kelompok nasionalis China secara online, menyebut mereka pengkhianat, setelah dia mempublikasikan perjuangan ibunya dengan ALS, penyakit motor neuron, di tengah pandemi.

Banyak yang percaya bahwa platform media sosial di China harus dimintai pertanggungjawaban yang lebih besar, sebagaimana platform lainnya di dunia.

"Sangat sulit bagi para korban untuk mencari perlindungan dan ganti rugi hukum," kata asisten profesor Fang.

"Ada sangat sedikit kasus di mana pelanggar dan platform dihukum."

Itu karena masalah perundungan daring tidak diprioritaskan oleh media sosial China maupun pemerintah China, yang malah menjalankan mesin sensor ekstensif untuk membungkam perbedaan pendapat atau segala bentuk percakapan politik.

Kata kunci pencarian yang disensor

Platform media sosial di China disebut tunduk setelah sejumlah istilah pencarian yang disensor terus bertambah.

Baru-baru ini misalnya, kata-kata seperti “Urumqi” dan “Shanghai, yang merupakan tempat protes anti-Covid terjadi, turut disensor.

"China memiliki teknologi yang kuat untuk memantau konten online. Lebih banyak sumber daya tersebut semestinya diarahkan untuk mengekang perundungan daring. [Pemerintah] seharusnya tidak membiarkan budaya mendorong 'kampanye kebencian' online," kata Jonathan Sullivan, spesialis China dan ilmuwan politik di Universitas Nottingham.

Beberapa pihak juga menyerukan agar lebih banyak edukasi publik terkait keamanan daring.

Sekolah harus menerapkan program pembelajaran emosional dan sosial yang mengajarkan siswa bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat dan membuat keputusan yang bertanggung jawab, kata Janis Whitlock, yang mengarahkan Program Penelitian Cornell tentang Cedera Diri dan Pemulihan di Universitas Cornell.

Lebih mendasar lagi, Sullivan mengatakan perawatan kesehatan mental harus diperkuat di China.

Dampak pandemi

Para ahli mengatakan setelah hampir tiga tahun karantina wilayah Covid yang ketat dan terjadi tiba-tiba, mungkin telah meningkatkan banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya. Ini mengarah pada lebih banyaknya kasus perundungan.

"Apa lagi yang akan Anda lakukan jika Anda dikurung selama berbulan-bulan? Ini akhirnya juga menyebabkan peningkatan eksponensial dalam kekerasan dan perundungan online. Sebagian bersumber dari fakta bahwa orang-orang kehilangan pekerjaan, frustrasi , dan marah," kata Dr Berry.

"Orang-orang merasa mereka membutuhkan jalan keluar untuk curhat. Dan dalam banyak kasus, mereka beralih ke 'keyboard justice', melancarkan serangan terhadap selebritas dan figur publik lainnya," tambahnya.

Dalam salah satu unggahan Weibo terakhirnya pada bulan Oktober, Zheng merenungkan apa yang disebut sebagai "peristiwa angsa hitam" yang dia alami tahun lalu.

Dia mencantumkan pelecehan daring, kekerasan di internet, depresi, dan lamaran sekolah pascasarjana.

"Ya, kehidupan saya yang dramatis berjalan begitu cepat dan penuh fluktuasi. Tetapi hal-hal ini telah membantu saya mengumpulkan keberanian untuk melalui pasang surut hidup, dan tidak tersesat … Tahun depan pasti akan lebih baik,” tulisnya.

Saat itu, dia telah mengecat rambut pinknya menjadi hitam.

Zheng tidak lagi beraktivitas di media sosial setelahnya. Hingga bulan lalu, teman-teman dan para pengikutnya meninggalkan komentar di akun Weibo-nya. Banyak yang menyatakan terkejut dan menyesali kematiannya.

"Saya tidak percaya ini sama sekali. Kamu adalah orang yang luar biasa," tulis salah satu dari mereka.

Yang lainnya mengatakan, "Saya tidak bisa mengungkapkan betapa sedihnya saya. Saya sangat kecewa dengan dunia ini.”

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan