Perang Saudara di Sudan
Sulit Cari Bantuan, Warga Sipil Terjebak di Rumah selama Perang Saudara di Sudan
Jutaan warga sipil terjebak di rumah selama Perang Saudara di Sudan yang telah berlangsung berhari-hari. Kondisi ini menyulitkan pengiriman bantuan.
TRIBUNNEWS.COM - Perang saudara di Sudan mengakibatkan jutaan warga sipil terjebak di rumah masing-masing.
Mereka tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena pertempuran yang terjadi di Ibu Kota Sudan, Khartoum.
Situasi ini juga menyulitkan organisasi kemanusiaan dari luar kota itu untuk mencapai mereka.
Farid Aiywar, Kepala delegasi Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional untuk Sudan, mengatakan warga sipil kesulitan mendapat bantuan hingga hari ini.
Kota Khartoum merupakan tempat pertempuran antara militer Sudan dan RSF yang memperebutkan kekuasaan.
“Sebenarnya saat ini hampir tidak mungkin untuk menyediakan layanan kemanusiaan di dalam dan sekitar Khartoum,” kata Farid Aiywar pada Selasa (18/4/2023), seperti diberitakan The Guardian.
Baca juga: Update dari Sudan: 1 WNI Terkena Pantulan Peluru Nyasar, 15 WNI Dievakuasi ke Gedung KBRI
“Ada panggilan dari berbagai organisasi dan orang-orang yang terjebak meminta evakuasi," lanjutnya.
Bandara internasional utama dan semua wilayah udara Sudan telah ditutup.
Sehingga bantuan tidak dapat dikirim melalui udara.
Harapan untuk pengiriman bantuan muncul pada Selasa (18/4/2023), ketika komandan RSF, Dagalo, tampaknya menyetujui gencatan senjata 24 jam setelah permintaan dari Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken.
Antony Blinken menelepon Dagalo dan Burhan secara terpisah untuk mengungkapkan keprihatinan serius tentang kematian warga sipil.
Ia mendesak mereka untuk menyetujui gencatan senjata.

Baca juga: Kondisi Sudan Memburuk, WNI Diimbau Tetap Berada di Rumah Demi Keselamatan
Perang Saudara di Sudan
Sedikitnya 185 orang tewas dan lebih dari 1.800 terluka dalam lebih dari empat hari pertempuran.
Dua pihak yang bertempur adalah unit tentara Sudan yang setia kepada Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (kepala dewan kedaulatan pemerintah transisi Sudan) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti (wakil ketua dewan).
Perebutan kekuasaan mereka telah menggagalkan transisi ke pemerintahan demokrasi dan menimbulkan kekhawatiran akan konflik yang lebih luas.

Baca juga: KBRI Bagikan Bantuan untuk 200 WNI terdampak Perang Saudara di Sudan
Gencatan Senjata yang Gagal
Jenderal Dagalo, mengatakan RSF telah menyetujui gencatan senjata 24 jam untuk memastikan jalan yang aman bagi warga sipil dan evakuasi korban luka pada Selasa (18/4/2023).
Dalam sebuah posting di Twitter, Jenderal Dagalo mengatakan dia telah membahas masalah mendesak dengan Antony Blinken selama panggilan mereka dan diskusi lebih lanjut telah direncanakan.
RSF juga mengeluarkan pernyataan, mereka sedang melakukan pertempuran berkelanjutan untuk memulihkan hak-hak rakyat Sudan, yang mereka sebut 'Revolusi baru'.
Namun, setelah gencatan senjata yang sedianya dimulai pukul 18.00 waktu setempat, suara tembakan masih terdengar di Kota Khartoum.
Ledakan mengganggu warga sipil yang berada di Kota Khartoum selama bentrokan berhari-hari.
Pertempuran itu telah merampas sebagian besar layanan dasar Kota Khartoum, memutus pasokan makanan dan obat-obatan, dan menjebak ribuan siswa di sekolah dan perguruan tinggi.
Korban tewas diperkirakan jauh lebih tinggi dari 185 yang diperkirakan oleh PBB, dengan laporan banyak mayat tergeletak di jalanan.
Tembakan bergema di seluruh Kota Khartoum pada hari Selasa (18/4/2023), disertai suara pesawat tempur dan ledakan yang hampir terus menerus.
Penduduk kota terdekat, Kota Omdurman dan Kota Bahri, juga melaporkan serangan udara yang mengguncang bangunan dan tembakan antipesawat.
Saksi menggambarkan pertempuran sengit di bagian lain Sudan.

Bentrokan Perparah Krisis di Sudan
Bentrokan yang terjadi berhari-hari ini, memperparah berbagai krisis di Sudan.
Hampir semua operasi kemanusiaan internasional telah ditangguhkan karena serangan terhadap fasilitas yang dijalankan oleh PBB dan lainnya.
Gudang dan kantor dijarah atau terjebak dalam baku tembak.
Pekerja bantuan di Kota Khartoum tidak dapat mengakses toko untuk mengirimkan pasokan medis penting ke rumah sakit, dikutip dari Guad News.
Médecins Sans Frontières (MSF), organisasi kemanusiaan medis internasional, menerima 136 pasien cedera di rumah sakit yang didukungnya di El Fasher, Darfur Utara, dalam 48 jam.
Sebelas orang kemudian meninggal karena luka-luka mereka.
Cyrus Paye, koordinator proyek MSF di El Fasher, mengatakan sebagian besar korban luka adalah warga sipil yang terjebak dalam baku tembak, termasuk banyak anak-anak yang sering mengalami luka parah.
“Rumah sakit (di sini) dengan cepat kehabisan pasokan medis untuk merawat para penyintas. Pasokan bahan bakar untuk generator rumah sakit juga habis. Tanpa pasokan vital ini, akan ada lebih banyak korban jiwa,” katanya.
"Di Khartoum, para pejuang mendorong kembali ambulans yang mencoba mengambil mayat dari jalanan atau mengangkut orang yang terluka ke rumah sakit," kata MSF.
Banyak lingkungan di Kota Khartoum mati listrik pada hari keempat, yang mengganggu pasokan air dan komunikasi.
Pertempuran tersebut telah memperparah krisis ekonomi yang akut, dengan melonjaknya harga makanan pokok seperti tepung, beras, dan minyak goreng.
“Sejak kemarin, harga barang-barang di pasar di sini naik dan dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan,” kata seorang pekerja bantuan yang bermarkas di Al-Qadarif, 400 km sebelah tenggara Khartoum.
“Bank tutup dan dengan rusaknya hukum dan ketertiban, ada kekhawatiran bahwa kejahatan akan meningkat," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Perang Saudara di Sudan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.