Jumat, 8 Agustus 2025

Pilpres 2024: Mengapa nama Nasaruddin Umar muncul sebagai kandidat cawapres Ganjar Pranowo dan bagaimana peluangnya?

Sejumlah pengamat politik menilai PDI-Perjuangan akan “bertaruh besar” apabila menjadikan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini sebagai…

Nama Nasaruddin Umar, Imam besar Masjid Istiqlal, disebut masuk dalam daftar tokoh yang dipertimbangkan menjadi calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo.

Meski belum ada keputusan final terkait ini, sejumlah pengamat politik menilai PDI-Perjuangan akan “bertaruh besar” bila menjadikan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini sebagai pendamping Ganjar karena elektabilitasnya “rendah” dan bahkan “tidak pernah masuk radar survei”.

Namun, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) – sebagai partai politik yang telah menyatakan dukungan kepada Ganjar – mengatakan mereka “ingin mempertahankan pakem nasionalis-agamis” dalam komposisi pasangan capres-cawapres yang akan mereka usung.

“Sejumlah nama memang menjadi pertimbangan untuk dibicarakan dalam koalisi nantinya, termasuk Pak Nasaruddin Umar jika memang mendapat respons positif dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan Nahdliyin,” kata Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani kepada BBC News Indonesia.

Ketika dikonfirmasi oleh BBC News Indonesia terkait hal ini, politikus PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan pihaknya masih menyusun daftar panjang nama-nama tokoh yang potensial menjadi cawapres Ganjar, namun nama Nasaruddin “bisa saja” masuk ke dalam daftar tersebut.

“Bisa saja [masuk], tapi kami tidak tahu, dalam daftar panjang itu memang ada banyak nama, tapi apakah nanti masuk dalam daftar prioritas, kami tidak tahu. Itu kewenangan ketua umum [Megawati Soekarnoputri],” ujar Hendrawan.

Pada Kamis (18/5), Nasaruddin turut hadir dalam halal bihalal yang dihadiri oleh Ganjar di Manado, Sulawesi Utara.

Namun ketika ditemui wartawan di Jakarta pada Jumat (19/5), dia mengaku “tidak pernah dihubungi” oleh PDIP maupun PPP terkait ini.

“Saya kira kami tidak pernah dihubungi apa pun. Saya kira kami lebih enjoy mengurus umat,” kata Nasaruddin dikutip dari Detik.com.

Baca juga:

PDIP dan PPP ‘berjudi’

Peneliti dari lembaga survei Indikator Politik, Bawono Kumoro menilai PDIP dan PPP akan “berjudi” apabila benar-benar memilih Nasaruddin.

Nama Nasaruddin, dia nilai “muncul secara tidak terduga” dan bahkan tidak pernah mencuat dalam beragam survei yang digelar oleh berbagai lembaga, termasuk Indikator Politik.

Menurut Bawono, itu membuat elektabilitasnya “belum bisa diprediksi”.

“Apakah Nasaruddin Umar bisa mengerek elektabilitas Ganjar, atau setidaknya tidak menggerus suaranya? Ini yang belum pernah disurvei,” kata Bawono.

Dia menduga atribusi Nasaruddin yang “prestisius” sebagai Imam besar Masjid Istiqlal menjadi salah satu hal yang membuat partai-partai politik ini mempertimbangkan namanya. Namun, itu tidak menjamin mereka bisa mengamankan suara para pengikut NU.

“Karena NU ini unik, tidak ada satu pun orang di negara ini, bahkan Ketua PBNU-nya mengklaim diri bahwa, ‘saya paling NU’. Jadi tidak lantas menjamin bisa otomatis menggandeng puluhan juta orang untuk ikut memilih,” kata dia.

Sementara itu, Nasaruddin Umar tidak memiliki banyak rekam jejak di bidang politik.

Dia dikenal sebagai salah satu tokoh Islam moderat, yang menurut Bawono, juga mungkin jadi salah satu hal yang memengaruhi mengapa namanya dipertimbangkan.

Dikutip dari situs Masjid Istiqlal, Nasaruddin adalah guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Tokoh asal Sulawesi Selatan ini pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama pada tahun 2011-2014. Dia juga merupakan pendiri organisasi lintas agama untuk Masyarakat Dialog antar Umat Beragama.

“Meski beliau adalah tokoh NU, tapi tidak pernah jadi Ketua PBNU, tidak punya partai juga, sebenarnya latar belakangnya lebih ke akademisi, lebih banyak di kampus,” kata dia.

Kondisi itu justru dianggap bisa berisiko bagi elektabilitas Ganjar yang menurut Bawono juga “tidak betul-betul aman” di tengah persaingan Pilpres 2024 yang "sangat kompetitif".

“Meskipun di dalam survei-survei Ganjar nomor satu, tapi selisihnya terpaut tipis dengan Prabowo. Prabowo tinggal menggandeng orang yang tepat, dia bisa menang,” tutur Bawono.

Dihubungi terpisah, pengamat politik Ray Rangkuti juga menilai elektabilitas Nasaruddin Umar “rendah” karena “tidak memiliki basis” di NU sebagai modal untuk menjadi cawapres.

“Kalau penjelasannya sedang mendekati tokoh Islam, ada tokoh-tokoh Islam, ada tokoh lain yang elektabilitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan beliau seperti Mahfud MD, Khofidah. Beliau juga tidak dikenal dalam pengertian politik, meski beliau adalah tokoh agama. Jadi menurut saya, Nasaruddin Umar masih jauh dari jangkauan itu,” kata Ray.

Lalu mengapa namanya muncul?

Mencari ‘tokoh Islam tanpa ambisi politik’

Sebelumnya, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy juga mengatakan bahwa Nasaruddin “memiliki kriteria yang sesuai” sebagai tokoh dari luar Pulau Jawa dengan “warna keagamaan yang moderat”.

Kriteria itu dinilai dapat mengimbangi Ganjar yang merupakan tokoh nasionalis dari Pulau Jawa.

Hal itu kemudian diamiini oleh Arsul Sani, yang mengatakan bahwa PPP memandang penting untuk mempertahankan pakem “nasionalis-agamis” atau “agamis nasionalis”.

Menurut Arsul, pakem itu telah terlihat berhasil sejak reformasi pada pasangan presiden dan wakil presiden Abdurrahmanwahid-Megawati Soekarnoputri, Megawati-Hamzah Haz, Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Joko Widodo-Jusuf Kalla, hingga yang terakhir, Jokowi-Ma’ruf Amin.

“Pengecualiannya hanya pada SBY-Boediono. Jadi PPP memandang pakem ini baik untuk dipertahankan,” kata Arsul.

Menurut Bawono, kombinasi itu juga disadari oleh PDIP.

“PDIP itu sadar diri, partai mereka bukan partai yang dekat dengan pemilih Islam. Itulah yang akan membuat PDIP akan menggandeng tokoh dengan ke-Islam-an yang kuat,” kata Bawono.

Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, Bawono menilai PDIP juga cenderung mencari tokoh Islam “yang tidak memiliki ketertarikan dengan politik” agar “tidak mengganggu kenyamanan politik PDIP”.

“Menggandeng orang yang tidak punya ketertarikan politik, bisa membuat PDIP nyaman. Ganjar pun bisa tenang tanpa memikirkan wakilnya akan menjadi rivalnya dalam lima tahun ke depan,” jelas Bawono.

Ini adalah kombinasi yang sama yang diterapkan oleh koalisi PDIP ketika mendulang kemenangan pada Pilpres 2019 dengan mengusung Jokowi-Ma’ruf Amin.

Namun bedanya, kata Bawono, kombinasi ini belum tentu berhasil kali ini. Apalagi di tengah situasi “kompetitif” antara Ganjar dengan tokoh lain yang potensial menjadi capres seperti Prabowo dan Anies Baswedan.

“Pada 2019 itu, Jokowi adalah petahana dan sedang kuat-kuatnya. Padahal kontribusi elektoral Ma’ruf Amin dalam kemenangan 2019 itu hampir tidak ada. Ini harus dicermati PDIP,” kata dia.

Siapa saja yang masuk dalam bursa cawapres Ganjar?

Sejauh ini, PDIP menyatakan telah ada 10 kandidat bakal calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo. Tokoh-tokoh itu disebut berasal dari berabagai kalangan, namun banyak yang berasal dari NU.

Ketika ditanyai terkait nama-nama itu, Hendrawan Supratikno mengaku “tidak mengetahui pasti” siapa saja yang ada di dalamnya.

“Ini nanti tergantung pada kalkulasi dan intuisi ibu ketua umum,” kata dia.

Sementara itu, survei terbaru Indikator Politik pada periode 30 April-5 Mei menunjukkan sejumlah nama sebagai bakal cawapres.

Nama-nama itu yakni Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri BUMN Erick Thohir, Menkopolhukam Mahfud MD, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, serta Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.

Sandiaga, Erick Thohir, dan Mahfud MD kemungkinan akan dinilai “berambisi politik”, bahkan “terancam bisa menjadi lebih populer” dibandingkan Ganjar.

Sedangkan Ridwan Kamil, meski berpotensi menambah suara PDIP di Jawa Barat, berpeluang “membesarkan Golkar di masa depan”.

Berdasarkan peta koalisi yang terlihat sejauh ini, AHY lebih mungkin menjadi cawapres Anies Baswedan. Sementara itu, Muhaimin Iskandar berpeluang mendampingi Prabowo.

Oleh sebab itu, Bawono mengatakan “masih sulit” untuk menakar siapa sosok yang akhirnya akan mendampingi Ganjar dalam Pilpres 2024. Keputusannya akan bergantung pada risiko mana yang nantinya akan diambil oleh koalisi PDIP.

Pada akhirnya, kata Bawono, sosok yang terpilih tergantung pada keputusan Megawati sebagai pemegang keputusan strategis.

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan