Rabu, 13 Agustus 2025

Kisah anak-anak yang terdampak mpox di pusat wabah cacar monyet di Kongo - 'Penyakit ini membuat kami sangat takut bahwa kami semua akan jatuh sakit'

Setelah WHO menyatakan darurat kesehatan masyarakat akibat penyebaran kasus mpox atau cacar monyet yang cepat, semua mata tertuju…

BBC Indonesia
Kisah anak-anak yang terdampak mpox di pusat wabah cacar monyet di Kongo - 'Penyakit ini membuat kami sangat takut bahwa kami semua akan jatuh sakit' 

Setelah WHO menyatakan darurat kesehatan masyarakat akibat penyebaran kasus mpox atau cacar monyet yang cepat, semua mata tertuju pada Republik Demokratik Kongo. Kongo menyumbang hampir semua kasus yang tercatat pada tahun ini dengan lebih dari 450 kematian.

BBC mengunjungi pusat-pusat perawatan di bagian timur negara itu dan menemukan bahwa anak-anak menjadi yang paling terdampak oleh penyakit ini. Dampaknya bahkan bisa mematikan.

“Awalnya seperti bintik kecil yang meradang. Ibunya memencet bintik itu lalu keluar cairan encer," kata Alain Matabaro, menceritakan bagaimana penyakit itu berkembang pada tubuh putranya yang berusia enam tahun, Amani.

"Setelah itu mulai muncul bintik-bintik lain, dan dalam waktu singkat, bintik-bintik itu menyebar ke seluruh tubuh."

Amani mulai pulih setelah empat hari dirawat di sebuah klinik di Munigi di wilayah timur Kongo.

Menurut Dokter Pierre-Olivier Ngadjole yang bekerja untuk badan amal Medair, sekitar 75% kasus yang ditangani petugas medis di area ini terjadi pada anak-anak berusia 10 tahun.

Kelompok usia muda tampaknya sangat terdampak oleh wabah cacar monyet karena sistem kekebalan tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang.

Dokter Ngadjole mengatakan kepadatan penduduk di kamp—yang menjadi tempat pengungsian bagi orang-orang yang pergi dari rumah mereka karena konflik—turut berpengaruh.

Salah satu cara penyebaran cacar monyet adalah melalui kontak yang sangat dekat, dan anak-anak “selalu bermain bersama”.

“Mereka tidak terlalu peduli dengan jarak sosial,” kata Dokter Ngadjole kepada BBC.

“Anda bisa melihat di rumah-rumah, mereka tidur di kasur yang sama. Jumlahnya bisa tiga, empat, sampai lima anak. Penularannya terjadi setiap hari,” jelas dia.

Sejak Juni, klinik di Munigi telah menangani 310 kasus cacar monyet. Mereka menerima lima hingga 10 pasien baru setiap harinya.

Klinik ini menyediakan pengobatan gratis termasuk antibiotik untuk mengobati infeksi kulit, parasetamol dan air minum yang aman.

Sejauh ini, tidak ada yang meninggal akibat cacar monyet di klinik ini. Dokter Ngadjole meyakini itu karena orang-orang mencari pertolongan lebih awal.

“Saya pikir sangat penting untuk menyediakan layanan kesehatan gratis terutama dalam konteks ini... Jadi orang-orang tidak terhambat biaya, dan mereka datang lebih awal ke fasilitas kesehatan.”

Lain halnya dengan yang terjadi di sebuah rumah sakit di Kavumu, yang jaraknya sekitar 80 kilometer barat daya Munigi.

Sebanyak 800 pasien telah dirawat di sana sejak Juni. Delapan orang di antaranya meninggal dunia, dan semuanya berusia di bawah lima tahun.

Ansima Kanigo yang baru berusia 2 tahun tertular cacar air dari salah satu di antara empat saudaranya. Mereka semua menderita penyakit tersebut.

Ibunya, Nzigire Kanigo, 35, awalnya tidak tahu apa itu cacar monyet.

“Ini adalah kali pertama saya melihat penyakit ini. Ketika anak saya sakit, orang tua lain mengatakan kepada saya bahwa itu mungkin campak, kami mulai mengobatinya tapi gagal. Jadi kami memutuskan untuk datang ke sini,” kata Nzigire.

“Tuhan memberkati dokter yang telah membawa obat-obatan... Tiga [anak] sudah sembuh, mereka sudah di rumah. Hanya dua yang sekarang dirawat di rumah sakit ini. Saya berterima kasih kepada Tuhan.”

Direktur medis di rumah sakit tersebut, Dokter Robert Musole, mengatakan bahwa wabah ini tidak boleh dianggap remeh oleh pihak berwenang.

“Situasinya sangat serius, dan kami sangat kewalahan, karena kami memiliki kapasitas yang kecil, tetapi kami sangat dibutuhkan,” kata Dokter Musole.

“Tantangan pertama yang kami hadapi dalam respon ini adalah akomodasi pasien. Tantangan kedua adalah ketersediaan obat-obatan yang tidak kami miliki.”

Ada beberapa kamp di wilayah timur Republik Demokratik Kongo. Kamp-kamp ini dihuni oleh jutaan orang yang meninggalkan rumah mereka karena konflik kelompok-kelompok pemberontak di wilayah tersebut.

Mereka umumnya tinggal berdesakan di bangunan-bangunan darurat dalam kondisi yang buruk dan tanpa sanitasi yang baik. Ini adalah tempat yang "sempurna" bagi cacar monyet untuk merajalela.

Petugas kesehatan telah mengunjungi tempat-tempat seperti kamp Mudja di dekat Gunung Nyiragongo untuk mengedukasi orang-orang soal apa yang harus dilakukan ketika mereka melihat gejala-gejalanya muncul. Misalnya, membatasi kontak dengan orang lain.

“Penyakit ini membuat kami sangat takut bahwa kami semua akan sakit,” kata Josephine Sirangunza, yang tinggal di kamp tersebut bersama lima anaknya.

Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan sejumlah kebutuhan dasar untuk membantu menghentikan penyebaran penyakit ini.

“Ketika kami melihat seseorang jatuh sakit, kami khawatir bagaimana melindungi diri kami sendiri.”

Hal yang sama juga dirasakan oleh Bosco Sebuke, 52 tahun, yang memiliki 10 orang anak.

“Kami sudah paham [soal cacar air], tetapi kami sangat takut karena kami berdesak-desakan di tempat penampungan. Kami tidur dalam kondisi yang sangat buruk, kami berbagi tempat tidur, jadi pencegahannya sulit dan karena itu, kami takut,” kata dia.

Wabah yang terjadi di Kongo timur dipicu oleh varian baru yang disebut Clade 1b. Varian ini telah menyebar ke negara-negara tetangga Kongo.

Minggu lalu, pemerintah Kongo mengatakan bahwa mereka berharap vaksin akan segera tiba dari Amerika Serikat dan Jepang. Hingga saat itu, negara ini belum memiliki vaksin walau mereka berada di pusat penyebaran virus.

Matabaro, ayah dari Amani yang masih berjuang pulih dari cacar air, mengatakan bahwa dia berharap vaksin akan segara tiba.

Namun distribusinya akan sangat terbatas dan, seperti yang dikatakan oleh Dokter Ngadjole, vaksinasi hanyalah salah satu aspek untuk mengurangi penyebaran virus.

“Tindakan [termudah] yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kebersihan. Ketika kita meningkatkan kebersihan di rumah tangga, ketika kita meningkatkan kebersihan di level masyarakat, sangat mudah untuk mengurangi risiko penularan," kata Dokter Ngadjole.

Ibu Sirangunza menggemakan pemikiran sang dokter: “Beri tahu para pemimpin kami untuk mengirimkan obat, sabun, dan tindakan perlindungan lainnya agar kami tidak tertular.”

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan