Jumat, 12 September 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Mantan PM Turki Ahmet Davutoglu Usulkan Agar Gaza Jadi Wilayah Turki

Rencana Trump merelokasi warga Gaza dan mengambil alih Gaza menuai beragam reaksi, terbaru dari Mantan PM Turki Ahmet Davutoglu.

Tangkap Layar YouTube Ahmet Davutoğl
MANTAN PM TURKI. Foto merupakan tangkap layar yang diambil pada Jumat (14/2/2025) dari YouTube Ahmet Davutoğl yang diunggah pada 8 Mei 2024. Mantan PM Turki Ahmet Davutoglu bereaksi terhadap rencana kontroversial Presiden AS Donald Trump yang ingin mengambil alih Gaza dan merelokasi warga Palestina dari wilayah tersebut. 

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu mengusulkan agar Gaza menjadi wilayah Turki.

Ia menyarankan diadakannya referendum di Jalur Gaza untuk menentukan apakah wilayah tersebut seharusnya menjadi bagian dari Turki sebagai wilayah otonomi, "hingga negara Palestina berdiri."

Davutoglu berargumen bahwa Gaza secara historis merupakan bagian dari Turki, dikutip dari Al Mayadeen.

Pria berusia 65 tahun itu menekankan pentingnya hubungan historis antara Turki dan rakyat Gaza.

"Turki, sebagai penerus sah Kekaisaran Ottoman, harus memperlakukan rakyat Gaza sebagai sahabat sepanjang sejarah dan sesama warga negara," kata Davutoglu dalam sebuah pernyataan.

"Biarkan rakyat Gaza mengadakan referendum dan bergabung dengan Turki sebagai wilayah otonom hingga negara Palestina berdiri. Keputusan ada di tangan rakyat Gaza," tegasnya.

Davutoglu, yang kini memimpin Partai Masa Depan, menyatakan bahwa Jalur Gaza adalah bagian sah dari Kekaisaran Ottoman.

Ia menyatakan pendudukan Israel atas wilayah tersebut adalah ilegal menurut hukum internasional.

Rencana Trump Ambil Alih Gaza

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengungkapkan rencana kontroversial terkait Gaza.

Trump mengusulkan Amerika Serikat dapat mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi "Riviera Timur Tengah".

Baca juga: 5 Bukit Lokasi Pasukan Israel di Lebanon Selatan, Cegat Hizbullah Jika Perang Kembali Pecah di Gaza

Pernyataan tersebut dia lontarkan selama pertemuan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu di Gedung Putih awal bulan ini.

Rencana ini memicu kemarahan global, dengan banyak pihak yang menganggapnya sebagai bentuk pembersihan etnis.

Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan meyakinkan Mesir dan Arab Saudi untuk menerima warga Palestina yang mengungsi dari Gaza.

Netanyahu kemudian mengusulkan bahwa Arab Saudi bisa menerima warga Palestina dan mendirikan negara Palestina di tanah Saudi.

Pada Senin (10/2/2025), Trump mengumumkan warga Palestina tidak akan diberi hak untuk kembali ke Gaza dan bahwa mereka akan diberikan tempat tinggal yang lebih baik di lokasi pemukiman kembali di luar Gaza.

Hal ini semakin memperburuk ketegangan internasional terkait nasib Gaza dan Palestina.

Serentetan Penolakan terhadap Rencana Trump Ambil Alih Gaza

  • Korea Utara

Korea Utara menolak dengan tegas usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk "mengambil alih" Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina ke negara lain.

Usulan tersebut dianggap sebagai bentuk "pengusiran paksa warga Gaza", menurut laporan dari Anadolu.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor berita pemerintah Korea Utara, KCNA, Pyongyang menegaskan kedaulatan nasional tidak bisa menjadi bahan negosiasi, apalagi dengan Amerika Serikat.

"Pada saat darah dan air mata masih tertumpah di Jalur Gaza dan kekhawatiran tumbuh di dalam dan luar negeri tentang keadaan yang rapuh ini, dunia dikejutkan oleh retorika keterlaluan yang menginjak-injak harapan Palestina akan perdamaian dan kehidupan yang stabil di kawasan tersebut," ungkap Korea Utara.

Baca juga: Mesir Siapkan Alat Berat di Perbatasan Rafah, Israel Tolak Akses ke Gaza

  • Vatikan 

Menteri Luar Negeri Vatikan Pietro Parolin menjelaskan bahwa penduduk Palestina harus tetap berada di tanah mereka.

“Ini adalah salah satu poin mendasar dari Tahta Suci: tidak ada deportasi," katanya, seperti dikutip dari kantor berita ANSA.

Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan resmi di Italia pada Kamis (13/2/2025).

Parolin menambahkan memindahkan warga Palestina akan menciptakan ketegangan regional dan dianggap tidak masuk akal.

Parolin juga mencatat bahwa negara-negara tetangga, termasuk Yordania, menolak usulan Trump tersebut.

Paus Fransiskus juga turut bersuara mengenai isu ini.

Ia mengkritik rencana Trump untuk deportasi massal migran yang tidak berdokumen di Amerika Serikat.

Dia menekankan pentingnya martabat manusia, mengatakan bahwa memulangkan orang-orang yang melarikan diri dari negara mereka dalam keadaan sulit adalah tindakan yang merusak martabat para migran.

Kepala perbatasan Trump, Tom Homan, menanggapi pernyataan Paus dengan mengharapkan agar pemimpin gereja tersebut tetap berpegang pada nilai-nilai Gereja Katolik.

Ia berharap agar masalah penegakan hukum perbatasan diserahkan kepada timnya.

  • Prancis

Presiden Prancis Emmanuel Macron menolak usulan pengusiran warga Palestina dari Gaza.

Macron menegaskan bahwa pengusiran hingga dua juta warga Palestina dari Gaza, seperti yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tidaklah tepat.

Ia menyatakan, "Bagi saya, solusi di Gaza bukanlah solusi real estat. Ini adalah solusi politik."

Pernyataan ini menggambarkan keyakinan Macron bahwa masalah yang dihadapi di Gaza harus diselesaikan melalui pendekatan politik yang komprehensif, bukan dengan pemindahan paksa penduduk.

Macron mengaitkan usulan Trump untuk membeli Greenland—wilayah otonomi di dalam Kerajaan Denmark—dengan apa yang ia sebut sebagai "ketidakpastian strategis ekstrem" yang sedang dialami dunia saat ini.

Usulan tersebut, menurut Macron, mencerminkan sikap yang tidak bijaksana dan berbahaya dalam menangani isu-isu geopolitik.

  • China

Sebelumnya, Beijing telah menegaskan penentangannya terhadap rencana Trump yang ingin memindahkan warga Gaza ke tempat lain.

Penolakan tegas ini disampaikan oleh pemerintah China dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (5/2/2025).

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan Gaza adalah wilayah Palestina dan merupakan bagian integral dari negara Palestina.

China menyatakan mereka dengan tegas menolak setiap upaya pemindahan paksa warga Gaza.

"Gaza adalah milik Palestina dan bagian dari wilayah yang tidak terpisahkan," ujar Guo Jiakun, menanggapi pertanyaan tentang rencana Trump yang mengusulkan relokasi penduduk Gaza.

China lebih lanjut menekankan bahwa pemerintah Palestina memiliki hak penuh untuk mengatur wilayah mereka tanpa adanya intervensi dari pihak luar.

Beijing menganggap bahwa pemindahan paksa warga Gaza bertentangan dengan prinsip dasar mengenai hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.

Sebelumnya, penolakan telah disuarakan oleh Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian.

Jian mengatakan pemerintah meyakini warga Palestina yang berhak memerintah negara itu.

"Itu adalah prinsip dasar pemerintah pasca konflik di Gaza," kata Lin saat konferensi pers pada Rabu (5/2/2025), dikutip dari Anadolu Agency.

"Kami menentang pemindahan paksa warga Gaza," imbuhnya.

  • Rusia

Rusia juga memberikan tanggapan terhadap usulan Trump.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menegaskan bahwa Gaza adalah bagian integral dari Palestina.

Ia menambahkan bahwa hak rakyat Palestina untuk tinggal di tanah mereka tidak bisa dipertanyakan.

Zakharova menegaskan bahwa solusi untuk konflik Palestina-Israel harus berdasarkan hukum internasional dan mengarah pada pembentukan negara Palestina yang merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

  • Indonesia

Indonesia, yang sejak lama mendukung kemerdekaan Palestina, juga mengeluarkan pernyataan tegas terhadap rencana pemindahan paksa warga Gaza.

Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan penolakan terhadap usaha yang bertujuan mengubah komposisi demografis wilayah Palestina.

"Indonesia menolak segala upaya yang berusaha memaksa merelokasi warga Palestina atau mengubah komposisi wilayah Palestina," demikian rilis dari Kemlu Indonesia pada 5 Februari 2025.

Indonesia menyebutkan bahwa solusi yang adil bagi kedua belah pihak harus berlandaskan pada prinsip negara Palestina yang merdeka dengan perbatasan 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan