Konflik Palestina Vs Israel
Kota Kemanusian Netanyahu Dikritik: Kuras Dompet Rp64 Triliun, Makan Waktu Lebih dari Setahun
Pembangunan "kota kemanusiaan" di Jalur Gaza diproyeksi akan memakan waktu lebih dari satu tahun dan menelan biaya fantastis, sekitar Rp 64 triliun
TRIBUNNEWS.COM - Militer Israel (IDF) memperkirakan pembangunan "kota kemanusiaan" di Jalur Gaza selatan akan memakan waktu lebih dari satu tahun dan menelan biaya fantastis.
Adapun perkiraan anggaran yang dihabiskan untuk membangun proyek ini antara 10 miliar dolar AS hingga 15 miliar dolar AS atau setara dengan sekitar Rp 64 triliun hingga Rp 96 triliun (kurs Rp 6.400 per dolar AS).
Perkiraan tersebut diungkapkan perwakilan Angkatan Darat Israel dalam laporan eksklusif media Israel, Ynet, pada Minggu (13/7/2025).
Lamanya durasi pembangunan serta tingginya anggaran yang dibutuhkan disebabkan oleh skala proyek yang sangat besar dan kompleksitas operasional di wilayah konflik.
Para pejabat militer memaparkan bahwa pembangunan kamp permanen ini akan mencakup infrastruktur dasar seperti ribuan unit tempat tinggal, serta sistem distribusi air bersih.
Kemudian fasilitas sanitasi, pusat logistik bantuan, rumah sakit darurat, sistem keamanan, hingga pembangkit listrik dan jaringan komunikasi.
Seluruh infrastruktur itu harus dibangun dari nol di atas reruntuhan kota Rafah yang telah hancur akibat agresi militer selama lebih dari sembilan bulan.
Selain itu, faktor keamanan juga menjadi alasan utama yang membuat proses pengerjaan diperkirakan akan berlangsung lama.
Lokasi pembangunan berada di zona konflik aktif, di mana serangan balasan dan ketidakstabilan situasi dapat memperlambat logistik, pengiriman bahan bangunan, hingga pengerahan tenaga kerja.
Oleh karenanya, pengamanan kawasan ini memerlukan pengerahan pasukan tambahan dan pengadaan sistem pertahanan perimeter permanen, yang turut menambah beban biaya secara signifikan.
Belum lagi, pembangunan fasilitas tertutup yang dirancang untuk membatasi mobilitas warga Palestina di dalam kamp, memerlukan sistem kontrol dan pemantauan berteknologi tinggi—seperti pos pemeriksaan, pengawasan udara, dan akses satu arah.
Baca juga: Donald Trump: Kami Berharap Mencapai Kesepakatan tentang Gaza Minggu Depan
Merespon kritikan tersebut, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dikabarkan sangat murka
Ia disebut langsung memerintahkan pihak militer untuk menyusun ulang rencana dengan skema yang “lebih singkat, lebih murah, dan lebih praktis.”
Meski begitu para analis menilai, meskipun target percepatan diupayakan, namun karena kompleksitas medan, skala pembangunan, serta tekanan internasional yang meningkat, menjadikan proyek ini sangat sulit diselesaikan dalam waktu singkat.
Apa itu Kota Kemanusiaan?
"Kota kemanusiaan” di Gaza adalah istilah yang digunakan oleh pemerintah Israel untuk menyebut rencana pembangunan kawasan pemukiman besar di wilayah selatan Jalur Gaza.
Khususnya di atas reruntuhan kota Rafah, sebagai tempat relokasi warga Palestina yang terusir akibat perang.
Gagasan ini pertama kali diumumkan secara resmi oleh Menteri Pertahanan Israel pada awal Juli 2025.
Pemerintah Israel mengklaim bahwa kota ini akan menjadi “zona aman sementara” bagi lebih dari 600.000 warga Palestina yang kini tinggal di tenda-tenda darurat di daerah al-Mawasi dan Rafah.
Tujuan utamanya, menurut Israel, adalah menyediakan kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, air bersih, makanan, dan layanan kesehatan bagi penduduk sipil selama konflik berlangsung.
Rencananya kota tersebut akan didesain seperti kompleks tertutup, lengkap dengan infrastruktur logistik, pengawasan keamanan, pos pemeriksaan, dan pengendalian akses.
Dikecam Lembaga Internasional
Meski disebut “kemanusiaan,” banyak pihak menilai rencana ini sangat problematik.
Berbagai lembaga kemanusiaan, organisasi HAM, hingga pemimpin dunia mengecam rencana tersebut.
Beberapa pihak bahkan menyamakannya dengan “kamp konsentrasi,” mengingat kebijakan isolatif yang akan diberlakukan terhadap penduduk kamp.
Philippe Lazzarini, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), sebelumnya telah memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat menjadi bentuk “Nakba kedua”, mengacu pada pengusiran besar-besaran warga Palestina pada 1948.
Ia menyebut rencana tersebut “secara de facto akan menciptakan kamp penahanan besar di perbatasan Mesir.”
Seruan penolakan juga datang dari dua mantan Perdana Menteri Israel, Yair Lapid dan Ehud Olmert.
Keduanya secara terbuka menyamakan proyek tersebut dengan kamp konsentrasi dan menuding pemerintahan Netanyahu telah melangkah terlalu jauh dalam penanganan krisis kemanusiaan di Gaza.
Kritik dan Kekhawatiran
Kritikan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, pasalnya rencana besar ini menimbulkan banyak pertanyaan, mulai dari segi moral, hukum internasional, hingga kelayakan teknis.
Tidak hanya soal anggaran fantastis yang diperlukan, melainkan juga efektivitas dan legitimasi pembangunan sebuah "kota" untuk menahan lebih dari dua juta warga sipil tanpa kepastian masa depan.
Organisasi HAM seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah menuntut agar komunitas internasional mendesak Israel membatalkan rencana ini.
Mereka menilai bahwa proyek ini bukan solusi, melainkan bentuk lain dari pembersihan etnis dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah AS maupun Uni Eropa terkait laporan perkiraan biaya dan waktu pembangunan kota tersebut.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.