Konflik Palestina Vs Israel
Warga Gaza Tolak Pendudukan Netanyahu, Ngotot Bertahan meski Nyawa Taruhan
Jutaan warga Gaza tolak usulan pendudukan Netanyahu, ogah mengungsi dan meninggalkan Kota Gaza meski mendapat desakan dari pemerintah Israel
Penulis:
Namira Yunia Lestanti
Editor:
Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Tekanan terhadap warga sipil di Jalur Gaza kembali memuncak, setelah Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu bersiap melangsungkan pendudukan, mengambil alih Kota Gaza sepenuhnya.
Keputusan itu diambil usai Netanyahu menggelar pertemuan marathon dengan kabinet keamanan Israel untuk membahas kependudukan kota Gaza, wilayah yang terletak di bagian utara Jalur Gaza.
Rencananya, sebelum militer Israel mengambil alih Kota Gaza, pada tanggal 7 Oktober 2025, mereka akan mengevakuasi satu juta warga sipil Palestina dari Kota Gaza ke kamp-kamp dan wilayah aman lainnya
Setelahnya, militer Israel akan bersiap melancarkan serangan darat besar-besaran untuk mengepung dan melumpuhkan militan Hamas yang masih bertahan di dalam kota.
Peringatan itu memicu gelombang kecemasan, terutama di kalangan keluarga dengan anak-anak dan lansia.
Namun, sebagian besar warga memilih untuk tetap tinggal, menolak meninggalkan Kota Gaza meski mendapat desakan dari pemerintah Israel.
Bagi warga Gaza, tanah yang mereka pijak bukan sekadar tempat tinggal, melainkan identitas dan sejarah yang tak tergantikan.
Mereka memandang rencana pendudukan sebagai strategi Israel untuk menekan Hamas agar menyerah, setelah negosiasi yang dimediasi AS, Mesir, dan Qatar gagal bulan lalu.
"Demi Tuhan, saya sudah menghadapi kematian sekitar 100 kali, jadi bagi saya, lebih baik mati di sini," kata Ahmed Hirz, warga Palestina yang telah mengungsi bersama keluarganya setidaknya delapan kali sejak agresi Israel dimulai.
"Saya tidak akan pernah pergi dari sini. Kami telah melewati penderitaan, kelaparan, penyiksaan, serta kondisi yang menyedihkan, sehingga keputusan akhir kami adalah mati di sini," imbuhnya.
Hal senada juga diungkap Ibrahim Abu al-Husni, warga asal Gaza yang bersumpah untuk tetap tinggal usai kehilangan putra sulungnya.
Baca juga: Israel Beri Ultimatum, Warga Gaza Diperintahkan Angkat Kaki Sebelum 7 Oktober 2025
“Ini tanah tempat kami dibesarkan sejak kecil. Saya akan tinggal di sini, dan saya akan mati di sini,” tegasnya dikutip dari The Guardian, Sabtu (9/8/2025).
Maghzouza Saada, yang sebelumnya mengungsi dari timur laut Beit Hanoun, juga mengungkapkan kemarahannya karena dipaksa pindah lagi, padahal tidak ada satupun tempat di Jalur Gaza yang bisa disebut aman.
"Selatan tidak aman. Kota Gaza tidak aman, utara tidak aman. Ke mana kita harus pergi? Apakah kita harus menceburkan diri ke laut?" tanyanya frustasi.
Picu Potensi Krisis Baru
Netanyahu berdalih ambisi untuk mengambil alih Gaza bertujuan untuk menghancurkan kekuatan Hamas.
Pimpinan Yahudi itu meyakini bahwa Hamas tidak akan berhenti menyerang Israel jika tidak dilumpuhkan sepenuhnya.
Oleh karenanya pendudukan penuh dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memastikan bahwa Jalur Gaza tidak lagi menjadi basis kekuatan bersenjata yang mengancam keamanan nasional Israel.
Namun di balik rencana militer ini, aktivis termasuk Amjad Shawa, direktur Jaringan Lembaga swadaya Masyarakat Palestina memperingatkan bahwa langkah tersebut bukan hanya akan memicu eskalasi konflik, tetapi juga membuka pintu bagi krisis kemanusiaan yang jauh lebih buruk.
Bagi banyak keluarga Palestina, ini bukan kali pertama mereka terpaksa meninggalkan rumah.
Mereka sudah berulang kali mengungsi, tinggal di tenda-tenda darurat, atau berlindung di reruntuhan bangunan yang pernah menjadi rumah mereka.
Akan tetapi pengungsian massal akan memaksa warga tinggal di kamp darurat yang penuh sesak, tanpa akses memadai ke air bersih, sanitasi, dan listrik. Kondisi ini membuka peluang besar bagi penyebaran penyakit menular dan krisis kesehatan.
Ketika ribuan warga dipaksa meninggalkan rumah, mereka juga kehilangan mata pencaharian. Toko, pasar, lahan pertanian, dan fasilitas usaha akan ikut terdampak atau hancur.
Situasi ini memperburuk pengangguran yang sudah tinggi di Gaza, membuat ketergantungan pada bantuan kemanusiaan semakin besar, dan mematikan perputaran ekonomi lokal.
Jenderal IDF Bela Warga Gaza
Penolakan rencana pendudukan Gaza secara penuh turut diungkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Letjen Eyal Zamir.
Ia secara terbuka menentang rencana pendudukan penuh Jalur Gaza.
Salah satu kekhawatiran utama Zamir adalah keselamatan sandera Israel yang masih ditahan oleh Hamas di berbagai lokasi di Jalur Gaza.
Menurutnya, pendudukan penuh akan memicu eskalasi besar dan membuat para pejuang Hamas semakin nekat, yang berpotensi menyebabkan para sandera dibunuh atau dipindahkan secara paksa.
Zamir juga menyoroti bahwa tidak ada strategi jangka panjang yang jelas dari pihak pemerintah mengenai siapa yang akan mengelola Gaza setelah pendudukan dilakukan.
Ia memperingatkan jika Israel mengambil alih penuh wilayah itu, maka tentara Israel akan dipaksa menjadi kekuatan administratif, yang harus menangani lebih dari 2 juta warga sipil, termasuk sisa-sisa elemen Hamas yang masih aktif secara bawah tanah.
Hal ini dikhawatirkan dapat membuat militer Israel menghadapi gangguan mental lebih parah mengingat saat ini kondisi pasukan tengah mengalami kelelahan pasukan, ditengah penurunan cadangan sumber daya manusia akibat perang berkepanjangan sejak 2023.
“Kami tidak punya cukup pasukan untuk menduduki dan mengendalikan wilayah sebesar Gaza dalam waktu lama. Itu akan menjadi kesalahan strategis besar,” kata Zamir dalam pertemuan tertutup, dikutip oleh Channel 13 Israel.
(Tribunnews.com/Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.