Jepang dan Korea Selatan Memperkuat Kerja Sama Pertahanan di Tengah Tekanan Geopolitik
Jepang dan Korsel sama-sama bergantung pada jalur laut yang rentan untuk impor energi dan perdagangan internasional.
Ringkasan Berita:
- Jepang dan Korea Selatan disebut menghadapi ancaman serupa dari Korea Utara dan Tiongkok.
- Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menunjukkan sikap terbuka terhadap Korea Selatan, menandai pergeseran penting dari rivalitas sejarah.
- Para analis menilai model kerja sama trilateral AS–Jepang–Korsel perlu diperkuat dengan integrasi langsung antar sekutu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jepang dan Korea Selatan menghadapi ancaman yang hampir sama, diantaranya perluasan program senjata nuklir Korea Utara, pelanggaran wilayah udara oleh Tiongkok, dan meningkatnya ketegangan di jalur maritim regional.
Kedua negara itu sama-sama bergantung pada jalur laut yang rentan untuk impor energi dan perdagangan internasional, menjadikan keamanan maritim sebagai urat nadi stabilitas nasional mereka.
Militer Jepang dan Korsel kini semakin saling melengkapi.
Kapal perusak Aegis dan kemampuan operasi laut dalam milik Jepang berpadu dengan sistem rudal, drone, dan keahlian perang siber Korsel.
Dikutip dari Asian Lite, Kamis (13/11/2025), kolumnis Dr. Sakariya Kareem menilai peluang kedua negara dalam membentuk aliansi militer formal kini semakin terbuka.
Menurutnya, kini saatnya Jepang dan Korea Selatan mempertimbangkan kerja sama pertahanan yang lebih terintegrasi.
Kareem menilai perhitungan geopolitik di Asia Timur telah bergeser secara dramatis.
Kerangka lama yang selama ini berpegang pada faktor sejarah kini berisiko tidak lagi relevan secara strategis.
Sikap Sanae Takaichi
Perdana Menteri Jepang yang baru terpilih, Sanae Takaichi, dalam pidato kebijakan perdananya menyatakan berjanji memperkuat hubungan dengan “negara-negara yang berbagi nilai-nilai fundamental.”
“Pembukaan sikap Takaichi terhadap Korea Selatan, yang sebelumnya kerap menjadi sasaran retorika nasionalisnya, menandakan pengakuan bahwa Tokyo dan Seoul harus bergerak melampaui masa lalu untuk menghadapi masa depan yang kian berbahaya,” ujar Kareem.
Perilaku Tiongkok di kawasan juga semakin provokatif.
Patroli pesawat pengebom strategis di dekat wilayah udara Jepang dan Korea, manuver angkatan laut yang agresif di Laut Cina Timur dan Selatan, serta tekanan diplomatik terhadap Taiwan dan Filipina mencerminkan ambisi yang lebih luas, yaitu dominasi regional.
Integrasi Horizontal Sekutu
Menteri Luar Negeri Korea Selatan baru-baru ini memperingatkan bahwa “sikap Tiongkok membentuk kembali lanskap keamanan regional,” sambil menegaskan kembali komitmen Seoul terhadap kerja sama trilateral dengan Washington dan Tokyo.
Namun, tanpa aliansi formal Korea–Jepang, upaya pencegahan di kawasan tetap bersifat terfragmentasi.
Kareem menilai Amerika Serikat, yang selama beberapa dekade menjadi jangkar keamanan Asia Timur, kini dinilai semakin tidak dapat diandalkan. Diplomasi transaksional dan sikap ambivalen Presiden Donald Trump terhadap aliansi telah mengguncang keyakinan Tokyo dan Seoul.
“Meski Washington terus mendukung koordinasi trilateral, kapasitas strategisnya kini terpecah oleh berbagai komitmen global dan polarisasi politik dalam negeri,” tutur Kareem.
Model “hub-and-spokes” yang menempatkan AS di pusat dengan sekutu-sekutunya di pinggiran tak lagi memadai untuk menghadapi kebangkitan Tiongkok. Situasi saat ini menuntut integrasi horizontal di antara sekutu.
Aliansi militer Korea–Jepang akan melembagakan struktur komando bersama, sistem peringatan dini, dan protokol pertahanan kolektif—sehingga stabilitas regional tetap terjaga bahkan jika kehadiran militer AS tertunda atau teralihkan.
KTT Camp David 2023 telah meletakkan dasar bagi kerja sama trilateral yang lebih mendalam.
Institut Sejong menilai pertemuan itu sebagai “titik awal praktis menuju pelembagaan hubungan keamanan.” Buku Putih Pertahanan Jepang 2025 juga menggambarkan Korea Selatan sebagai “negara tetangga yang penting dan mitra strategis,” sambil mengidentifikasi Tiongkok sebagai “tantangan strategis terbesar.”
Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka
Perkembangan terkini semakin memperkuat arah tersebut. Setelah Dialog Shangri-La 2024, Tokyo dan Seoul sepakat bahwa koordinasi militer yang lebih erat akan menguntungkan kedua negara sekaligus memperkuat kerangka kerja AS–ROK–Jepang.
Biro Nasional Penelitian Asia mencatat bahwa “persepsi ancaman bersama terhadap Korea Utara dan Tiongkok” menjadi kunci bagi keberlanjutan kerja sama keamanan tersebut.
Menurut analisis Kareem, aliansi militer bilateral antara Jepang dan Korea Selatan dapat mengubah keduanya dari pihak yang rentan menjadi pilar tangguh dalam tatanan regional baru.
“Kerja sama ini dapat memperkuat otonomi strategis, mencegah agresi, dan menjaga Indo-Pasifik tetap bebas serta terbuka,” pungkasnya.
| Dean Fujioka–Vanina Amalia, Pasangan Jepang–Indonesia yang Perceraiannya Disesalkan Publik Jepang |
|
|---|
| Desember Pemerintah Mulai Kirim Lulusan SMK Kerja di Luar Negeri, Bisa ke Jepang, Jerman, Turki |
|
|---|
| Bagan 32 Besar Piala Dunia U17 2025: Timnas Indonesia Cuma Nonton, Korea Selatan vs Inggris |
|
|---|
| Sushi dan Onigiri Bikin Cuan, Puluhan IRT di Jakarta Langsung Ikut Pelatihan dan Belajar Chat GPT |
|
|---|
| PM Jepang Pangkas Gaji Sendiri, Tunjangan Menteri Ditangguhkan |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.