Selasa, 19 Agustus 2025

Utut Adianto Dorong Respons Sigap Indonesia atas Memanasnya Situasi Iran-Israel

Konflik Iran-Israel menandai dimulainya fase baru dalam dinamika geopolitik global dan menjadi pembelajaran strategis bagi sistem pertahanan nasional.

Editor: Content Writer
Istimewa
KONFLIK IRAN-ISRAEL - Wakil Ketua MPR RI, Ir. Bambang Wuryanto, M.B.A dan Ketua Komisi I DPR RI, Drs. Utut Adianto. Keduanya memberikan tanggapan terkait meningkatnya ketegangan akibat serangan Iran terhadap Israel. 

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI, Ir. Bambang Wuryanto, M.B.A., memberikan tanggapan terkait meningkatnya ketegangan akibat serangan Iran terhadap Israel. Ia menilai, konflik ini menandai dimulainya fase baru dalam dinamika geopolitik global sekaligus menjadi pembelajaran strategis bagi sistem pertahanan nasional Indonesia.

“Lama sekali kita tidak mencermati adanya sebuah perang besar. Kali ini, kita menyaksikan pecahnya perang antara Israel dan Iran. Ini akan membuka cakrawala baru,” ujar Bambang Wuryanto di Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/6/2025) didampingi Ketua Komisi I DPR RI, Drs. Utut Adianto. 

Menurutnya, konflik tersebut menjadi momentum penting bagi Indonesia, khususnya bagi TNI dan sektor pertahanan nasional, untuk mengambil pelajaran dari dinamika militer modern yang terjadi di kawasan Timur Tengah.

“Perang ini memberikan pelajaran baru bagi angkatan perang kita,” tegasnya.

Pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu menambahkan, dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks, Indonesia perlu terus memperkuat kapasitas pertahanan, memperbarui doktrin militer, dan mencermati perkembangan teknologi perang terkini.

Ia juga mengingatkan pemerintah agar mewaspadai dampak konflik Israel-Iran terhadap sektor energi global, khususnya lonjakan harga minyak dunia. Iran sendiri merupakan salah satu produsen minyak terbesar dengan produksi sekitar 8 juta barel per hari.

“Kalau perangnya agak lama dikit, harga minyak bisa naik. Dan kalau harga minyak naik, itu pasti berdampak pada nilai tukar,” ujarnya.

Bambang mengaitkan kondisi ini dengan sejarah pengaitan dolar terhadap minyak sejak tahun 1971. Menurutnya, sejak saat itu minyak tidak lagi dipatok dengan emas, melainkan dengan dolar AS, sehingga setiap gejolak dalam perdagangan minyak akan berdampak langsung pada penguatan dolar dan pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.

“Ini ilmu sederhana saja. Kalau harga minyak naik, logikanya dolar juga akan naik, dan rupiah akan melemah,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyinggung arah kebijakan energi nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen menuju kemandirian energi.

Namun, hingga saat ini, menurutnya, belum ada penjelasan rinci terkait langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah ke depan.

“Ini mesti dipeka, kita akan kemana? Karena program pemerintah sendiri hari ini mau mandiri dalam waktu dekat di bidang energi, sampai apanya? Dan langkanya seperti apa? Ini belum di-breakdown ini, di komisi VII, nanti kita akan tanya ke Menteri ESDM,” ucapnya.

Baca juga: Kondisi Kantor Berita Iran usai Diserang Israel: Gedung Kebakaran Hebat, Asap Membubung

Meski begitu, ia menilai dampak konflik terhadap pasokan minyak Indonesia kemungkinan tidak signifikan, karena jenis minyak Iran adalah “heavy crude” atau minyak berat, yang hanya bisa diolah di kilang tertentu seperti di Cilacap.

“Kita tidak terlalu banyak memakai minyak berat. Kilang Cilacap memang bisa, tapi itu pun tidak banyak. Artinya dari sisi teknis, pengaruh langsung terhadap kilang kita tidak terlalu besar,” jelasnya.

Bambang turut menekankan bahwa Pertamina, sebagai pengelola utama sektor minyak dan bahan bakar di Indonesia, perlu bersiap menghadapi berbagai kemungkinan, termasuk dampak fluktuasi harga minyak global akibat konflik yang tengah berlangsung.

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan