Petang di Taman: Ketika Naskah Avant-Garde Iwan Simatupang Bertemu Distopia Modern
Pementasan teater dengan judul "Petang di Taman: Sepenggal Filsafat Iseng" oleh Anteater.
Editor:
Brand Creative Writer
TRIBUNNEWS.COM - Anteater; sebuah laboratorium untuk eksperimen karya, pada tahun ini mempersembahkan pementasan teater dengan judul "Petang di Taman: Sepenggal Filsafat Iseng".
Pertunjukan ini merupakan reinterpretasi kontemporer dari naskah avant-garde legendaris karya maestro sastra Indonesia, Iwan Simatupang, yang ditulis pada tahun 1966.
Naskah orisinal "Petang di Taman" mengisahkan sebuah taman yang menjadi saksi pertemuan empat karakter yang bergumul dengan keresahan eksistensial mereka: Lelaki Muda yang memberontak, Lelaki Tua yang terjebak masa lalu, Pecinta Balon yang mewakili anomali kekuasaan, dan Perempuan yang bergulat-tak-henti dengan trauma.
Di tangan sutradara Ardianti Permata Ayu dan dramaturg Heri Purwoko, naskah ini dihidupkan kembali dengan latar distopia yang suram, mencerminkan realitas dunia saat ini yang dikuasai ketamakan dan ketidakpedulian terhadap alam. Panggung diubah menjadi tempat penampungan sampah plastik dan elektronik, menjadi kritik tajam tentang kondisi manusia di tengah dunia yang rusak.
Skenografi yang dihadirkan Anteater dirancang untuk memperkuat kesan kelam dan tanpa harapan. Penonton dapat menemukan bongkahan sampah dalam bentuk kardus, kemasan plastik, serta ban-ban usang sebagai tempat duduk dan tanaman.
Atmosfer ini didukung oleh penataan suara oleh Derick Adeboi yang menciptakan lanskap audio disonan dari suara metal, desau angin, dan petir.
Para pemain, termasuk Heri Purwoko, Idham Aulia Shaffansyah, Septiadi, Sukendi, dan Pracista Dhira Prameswari, menghidupkan kembali karakter-karakter ikonik ini dengan kedalaman emosional yang relevan, tentunya dengan bantuan sentuhan Khairunnisah pada tata rias dan kostum.
“Taman merupakan ruang publik, tempat masyarakat dapat berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Teater merupakan seni pertunjukan yang bukan hanya sebagai hiburan bagi penontonnya saja, melainkan dapat memberikan 'kesadaran' atas realitas sosial yang ada. Sehingga melalui seni, kritik sosial dapat disampaikan dengan cara yang menghibur dan satir,” ujar Ardianti Permata Ayu.
"Petang di Taman" adalah lebih dari sekadar pertunjukan teater; ia adalah sebuah perjalanan introspektif yang mengundang penonton untuk merenungkan makna dan absurditas kehidupan.
Ketika "taman" dalam pementasan Iwan Simatupang adalah sebuah panggung tempat keresahan absurd, di sisi lain demonstrasi akhir Agustus 2025 di jalanan, yang dimulai dari tuntutan buruh, ojek daring, hingga mahasiswa, membuktikan bahwa "taman" yang sesungguhnya kini adalah ruang publik, di mana keresahan rakyat tak lagi filosofis, tetapi nyata dan menuntut keadilan, sebuah cerminan dari naskah yang menjadi realitas distopia (Tempo, 31 Agustus 2025).
Tuntutan reformasi DPR, penolakan kenaikan tunjangan, dan desakan pengusutan kasus kekerasan aparat (Kumparan, 29 Agustus 2025) menunjukkan bahwa dialog yang seharusnya terjadi di parlemen kini harus diungkapkan melalui suara keras di jalanan, menciptakan panggung dramatis yang penuh ketegangan, seperti yang disampaikan oleh berbagai media terkemuka.
Pementasan Petang di Taman: Sepenggal Filsafat Iseng oleh Anteater ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Teater Jakarta Selatan (FTJS) dan digelar pada Selasa, 15 September 2025 pukul 19.30 WIB di Gedung Pertunjukan Bulungan, Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.
FTJS sendiri terselenggara berkat kerjasama Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan SINTESA yang merupakan asosiasi teater wilayah Jakarta Selatan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.