Rabu, 27 Agustus 2025

Polemik Kalijodo

Mucikari Pasrah Kalijodo Digusur

Salah seorang mucikari di Kalijodo, Subadriah (65), mengaku sudah pasrah jika kafe tempatnya bekerja ditutup.

Editor: Sanusi
Glery Lazuardi/Tribunnews.com
Kamar di Kalijodo 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah seorang mucikari di Kalijodo, Subadriah (65), mengaku sudah pasrah jika kafe tempatnya bekerja ditutup. Ia pun berencana akan pulang kembali ke kampung halamannya.

"Selamat tinggal Kalijodo, good bye," ucapnya, Jumat (19/2).

Subadriah ditemui saat sedang membereskan barang-barang dari kafe tempatnya bekerja.

Perempuan yang mengaku berasal dari Lumajang, Jawa Timur, ini diketahui sudah 40 tahun bekerja di Kalijodo.

Menurut dia, penghasilan sebagai mucikari di Kalijodo sudah berangsur menurun dalam beberapa tahun terakhir.

"Dulu bisa dapat Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan, tetapi turun terus. Tahun 2015 malah sehari cuma dapat Rp 100.000," kata ibu empat anak ini.

Subadriah mengaku membina sekitar 20 PSK. Tarif setiap anak asuhnya untuk sekali kencan mencapai Rp 150.000. "Dari Rp 150.000 nanti dibagi. Saya ambil Rp 20.000, uang kamar Rp 30.000, Rp 100.000-nya buat dia (PSK)," tuturnya.

Satu per satu kafe di kawasan Kalijodo memang tampak mulai dikosongkan oleh pemiliknya. Dalam beberapa malam terakhir, satu per satu pengelola kafe di Kalijodo mulai menutup operasinya.

Apalagi Sabtu (20/2) malam. Suasana sunyi dan sepi menyelimuti kawasan itu, pasca operasi pemberantasan penyakit masyarakat (pekat), Sabtu (20/2) pagi.

Pantauan Kompas.com, sepanjang jalan terasa amat gelap. Cahaya hanya berasal dari beberapa lampu penerangan yang menyala disepanjang kawasan tersebut.

Deretan warung yang biasa menyediakan minuman di sekitar area tersebut tampak tak beroperasi.

Sewa bulanan

Penelusuran Warta Kota, sistem sewa-menyewa warung, rumah petak, ataupun kafe di Kalijodo ternyata seluruhnya memakai sistem pembayaran bulanan dan bagi hasil.

Sakinem (60), warga RT 6/5 di Kalijodo, mengaku sudah sejak usia 17 tahun tinggal di Kalijodo. Dia tak pernah punya rumah disana. Sepanjang umurnya Sakinem hanya menyewa kontrakan di Kalijodo, begitu juga anak-anaknya yang kini tinggal di sebelah kontrakannya.

Tempat Sakinem tinggal hanya kamar kecil tanpa kamar mandi. Makanya dia mesti mandi WC umum, setiap hari. Harga sewa kontrakan Sakinem hanya Rp 250.000 per bulan.

Kini Sakinem pusing harus pindah kemana. Kamarnya sudah Ia rapikan dan barang-barang sudah ia masukkan ke koper, tapi dia bingung pindah ke mana.

Sementara itu, Diman (50), lebih beruntung. Lelaki ini tinggal sejak lahir di Kalijodo dan kini punya 3 rumah yang seluruhnya tak bersurat. Dia cuma punya bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan tiap tahunnya.

Diman mengaku memakai 1 rumah untuk tinggal, sedangkan 2 rumah lainnya ia kontrakkan. Dari kontrakannya, setiap bulan Diman mendapat pemasukan sekitar Rp 700.000.

Sementara itu, warung-warung di Kalijodo harus bayar sewa ke pemilik tempat sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 3 Juta. Tergantung lokasinya. Lokasi warung di dalam gang hanya berkisar Rp 1 jutaan. Sedangkan di pinggir jalan kendaraan bisa mencapai Rp 3 juta.

Sedangkan kafe memiliki sistem berbeda lagi. Suryana (52), pemilik Sari Ayu Kafe di Kalijodo, menceritakan, dia memakai sistem bagi hasil dengan pemilik lahan kafenya.

Suryana menyebut, modal membangun kafe sebesar Rp 1,2 milliar di Kalijodo bisa balik modal hanya dalam waktu 1 tahun saja.

"Kalau tidak pakai sistem bagi hasil, Rp 1,2 milliar itu akan kembali hanya dalam 5 bulan," kata Suryana yang kini menyewa 3 lokasi lahan untuk kafe miliknya. (Kompas.com/ote)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan