Cinta Terakhir Bung Karno
Awal Pertemuan, Soekarno Sudah Tergoda Kecantikan Heldy (3)
KISAH perjalanan Heldy, gadis asli Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang akhirnya dinikahi Presiden I Soekarno, penuh liku.
Penulis:
Achmad Subechi
Editor:
Ade Mayasanto

Laporan Wartawan Tribunnews.com Achmad Subechi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KISAH perjalanan Heldy, gadis asli Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang akhirnya dinikahi Presiden I Soekarno, penuh liku.
Bagaimana ceritanya Heldy bisa masuk ke dalam lingkungan Istana? Lalu apa komentar Soekarno kali pertama bertemu Heldy? Berikut kisahnya seperti yang tertuang dalam buku berjudul: Heldy Cinta Terakhir Bung Karno yang ditulis Ully Hermono dan Peter Kasenda. Buku ini diluncurkan oleh Penerbit Buku Kompas.
WAKTU terus berjalan. Heldy beranjak menjadi remaja yang menarik perhatian rekan-rekannya.
Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP yang letaknya di Gunung Pedidi, Jalan Rondong, Demang Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Saat ia duduk di bangku SMP kelas tiga, Heldy pindah sekolah ke sebuah SMP di Samarinda. Kepindahan Heldy dilakukan karena adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Implikasinya, H Djafar, ayah Heldy untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Oost Borneo Maatschapppij.
Setelah tamat dari SMP, Heldy hijrah ke Jakarta menyusul kakaknya untuk mencari ilmu. Cita-cita nya menjadi seorang desainer interior.
Kendati jarak antara Samarinda-Jakarta lumayan jauh, namun Heldy tak pernah surut untuk melangkahkan kakinya meraih asa.
Dari Samarinda, ia menumpang kapal menuju Balikpapan. Selanjutnya ia naik kapal laut Naira dari Pelabuhan Semayang, Balikpapan, menuju ke Surabaya ditemani familinya, Milot dan Izhar iparnya.
Selanjutnya dari Surabaya mereka menumpang kereta api menuju Jakarta dan berhenti di Stasiun Gambir. Saat kakinya kali pertama menyentuh Jakarta, Heldy merasa bangga. Apalagi pada tahun 1963, jalanan di Jakarta sudah beraspal, jembatan Semanggi yang lebar dan membentuk lengkungan menarik, rumah dan gedung terbuat dari beton dan rimbunnya dedaunan pohon-pohon besar di tepi jalan.
Di kota metropolitan, Heldy tinggal di rumah kakaknya Erham, di Jalan Ciawi III nomer 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Erham sendiri bekerja di sebuah perusahaan bank dan sudah memiliki tiga orang anak.
Sementara Yus, kakak Heldy, waktu itu masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia memilih tinggal di asrama Kalimantan, Jalan Cimahi 16, Menteng, Jakarta Pusat.
Yus dikenal sebagai aktivis organisasi. Ketika masih kuliah ia sudah didapuk menjadi Ketua Perhimpunan Pemuda Kalimantan Timur.
Seminggu berada di Jakarta, Heldy diajak Yus main-main ke asrama. Di sana ada pemuda bernama Adji, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kehadiran Heldy menarik perhatian Adji.
"Siapa gadis itu?" "Oo... ini adikku, Heldy. Dia baru datang dari Kutai," jawab Yus.
"Untuk saya saja adikmu," tutur Adjie. Selanjutnya, Heldy dikenalkan kepada Adjie oleh Yus. Sejak itu, kendati usianya terpaut lima tahun, keduanya saling mengunjungi.
Di JAKARTA Heldy masuk ke Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Atas (SKKA). Sekarang sekolah itu diubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kepandaian Keputrian (SMKK).
Letak sekolahnya di daerah Pasar Baru. Di sekolah ini, sejumlah gadis dari daerah, menimba ilmu tentang dunia masak-memasak dan mengurus rumah tangga.
Sejak sekolah di tempat itu, setiap hari Heldy naik bus menuju ke sekolahnya. Kadang ia dijemput oleh rekannya bernama Sri.
Di sekolahnya khusus buat murid yang beragama Islam, diadakan pencarian bakat siapa yang mahir membaca Al Qur'an. Kepala sekolah memberikan pengumuman kepada para murid yang bisa membaca Al Qur'an disarankan ke kantor kepala sekolah untuk dites.
Dari sekian banyak murid dipilihlah Heldy. Mengapa? Sejak kecil ia sudah khatam membaca Al Qur'an. Kepandaiannya membaca Al Qur'an membuat Heldy makin dikenal di sekolahnya.
Suatu hari Heldy diundang sebagai qoriah dalam acara peringatan Nuzulul Qur'an di asrama mahasiswa Universitas Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Heldy diundang oleh guru kimianya yang waktu itu juga tercatat sebagai mahasiswa kedokteran UI. Namanya Zulkifli TS Tjaniago (kini menjadi dokter spesialis kandungan).
Sejak saat itu Heldy tak hanya dikenal di sekolahnya saja. Para mahasiswa banyak yang mengenal namanya. Bahkan, ia pernah dipilih menjadi cover majalah Pantjawarna. Di cover tersebut, Heldy memakai busana khas Tenggarong, lengkap dengan sanggul cepol di atas dan tusuk kembang goyang.
Lalu bagaimana ceritanya Heldy bisa masuk ke lingkungan Istana Kepresidenan? Adalah Yus, sang kakak yang waktu itu kuliah di UI. Saat itu Yus dipercaya oleh protokol kepresidenan untuk menyiapkan barisan Bhineka Tunggal Ika ke Istana. Biasanya, ia mencari remaja putri dan putra yang layak untuk menjadi bagian dari barisan itu.
Dipilihlah Heldy, adiknya, sebagai wakil dari Kalimantan. Begitu juga sepupu dan keponakannya.
Semuanya ikut menjadi barisan Bhineka Tunggal Ika.
Dan sudah menjadi tradisi bagi Istana, setiap kali mengadakan kegiatan, tim protokol membutuhkan pagar ayu, pagar bagus yang terdiri dari para remaja lengkap dengan pakaian daerah seluruh Indonesia.
Biasanya diambil dari perhimpunan remaja daerah yang tinggal di Jakarta. Bung Karno sangat menyenangi keindahan dan peduli dengan kekayaan budaya Indonesia yang begitu beragam.
Suatu hari pada tahun 1964, Istana sedang sibuk menyiapkan penyambutan tim Piala Thomas.
Untuk itu dibutuhkan barisan Bhineka Tunggal Ika, sebagai penerima tamu. Heldy dipilih untuk ikut serta. Ia mengenakan kebaya warna pink dengan kain lereng berselendang dan memakai sanggul.
Tibalah hari H. Heldy bersama remaja lainnya siap berdiri secara teratur di anak tangga Istana, berbaris rapi dekat pintu masuk.
Seperti biasa, Presiden Soekarno menaiki anak tangga Istana melalui barisan Bhineka Tunggal Ika yang sudah rapi berbaris dan berdiri di setiap anak tangga.
Bung Karno menaiki anak tangga satu persatu sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
Tepat saat mendekati barisan di belakang Heldy, ia menyapa dengan caranya yang khas.
"Darimana asal kamu?" "Dari Kalimantan Pak." "Oh... aku kira dari Sunda. Oh... ada orang Kalimantan cantik." Itulah awal pertama percakapan Heldy dengan Bung Karno. (Bersambung)