Sejarawan: Natsir dan Gadjah Mada Pahlawan Nasional Kontroversial
Beberapa pahlawan nasional masih menyisakan perdebatan yang kontroversial. Di satu sisi dianggap sangat berjasa
Penulis:
Domu D. Ambarita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa pahlawan nasional masih menyisakan perdebatan yang kontroversial. Di satu sisi dianggap sangat berjasa terhadap perjuangan bangsa dan layak diberi penghargaan sebagai pahlawan, namun dari aspek lain, dia dianggap sebagai pengkhianat.
Peter Kasenda, sejarawan Universitas Indonesia menyebut beberapa nama pahlawan nasional yang gelarnya diperdebatkan hingga kini. Misalnya, Gadjah Mada, Pattimura, Muhammad Natsir, Syarifuddin Prawiranegara dan beberapa pahlawan dari daerah di Sulawesi, Riau dan Papua.
Peter Kasenda menyoroti tokoh-tokoh nasional yang ditetapkan sebagai pahlawan. Banyak diantara pahlawan nasional, yang menuai kontroversi. Gadjah Mada, bagi bangsa Indonesia dan orang Jawa khususnya, Gadjah Mada dianggap sebagai pahlawan, tapi tidak bagi orang Sunda.
Kalau dalam sejarah, Gajah Mada dicatat sebagai patih yang membuat sejarah menyatukan Nusantara sesuai Sumpah Palapa, tapi bagi orang Sunda, dia seorang licik dan pemicu meletusnya peristiwa Perang Bubat.
Pahlawan yang menuai kontroversi lainnya adalah Pattimura, pahlawan dari Ambon. Sampai kini, masih diperdebatkan, dia menjadi Pahlawan dari kelompok tertentu, bahkan curi-mencurigai pahlawan kaum Kristen kah atau kaum Muslim kah?
Perdana Menteri pertama NKRI Muhammad Natsir, dan pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Syarifuddin Prawiranegara. Keduanya di satu sisi dianggap sebagai pejuang yang berjasa memerdekakan RI, dan patur dihargai sebagai pahlawan nasional.
"Tapi di sisi lain, kedua orang itu, dianggap sebagai pengkhianat karena terlibat pemberontakan PRRI/Permesta," kata Peter dalam acara diskusi Memaknai Ulang Kepahlawanan dalan Dimensi Kekinian yang diselenggarakan Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiwa Katolik Republik Indonesia (Forkoma PMKRI) di Jalan Menteng 18, Sabtu (3/11/2012) siang.
Menurut dia, setiap orang memang memiliki sisi negatif atau sisi gelap. Karena itu, dia mengusulkan, dalam proses pengajuan calon pahlawan nasional, agar pemerintah lebih jujur, terbuka, dan mempertimbangkan semua aspirasi agar tidak menyisakan perdebatan panjang.
Peter juga mengkritisi makna kepahlawaan sekarang ini tidak harus dimaknai dalam perjuangan fisik kemerdekaan bangsa. Dalam hal-hal kecil pun, dalam kehidupan sehari-hari, misalnya menjadi juru damai saat terjadi konflik, bisa dianggap sebagai pahlawan.
"Misal ketika terjadi konflik di Ambon, ketika seseorang datang dari negeri antah-berantah sekalipun dan dia memelopori perdamaian, maka dia dapat dianggap sebagai pahlawan," kata Peter. Contoh lain, ketika seorang politisi dapat menjadi pelopor dalam partai politik pun, dia dapat dianggap sebagai pahlawan.
Peter tidak sependapat bila setiap tahun pemerintah mengusulkan pemberian gelar pahlawan kepada orang-orang tertentu, pahlawan-pahlawan pendatang baru. "Apakah terus akan diberikan gelar pahlawan ke setiap daerah? Saya kira tidak," katanya.
Sangat mungkin, setiap daerah mengusulkan tokoh tertentu untuk diberi gelar nasional. "Memang perlu, untuk konteks sebagai tokoh integrasi, pemersatu dalam artian politik, tetapi tidak harus semua tokoh daerah jadi pahlawan."
Di tempat serupa Amsar A Dulaman, mengkritisi kepahlawan dalam konteks waktu dan kepentingan. Banyak kejadian, seseorang dianggap sebagai pahlawan, tapi di pihak lain dia pengkhianat.
"Karena itu, kita harus hati-hati memberi gelar pahlawan. Jangan-jangan nanti, setiap pendiri organisasi Kelompok Cipayung, pendiri HMI diberi gelar pahlawan, pendiri PMKRI jadi pahlawan, pendiri GMNI pahlawan, saya kira tidak begitu," kata dia.
Kariadi dari KAHMI ketika menanggapi para pemateri mengatakan perlu ada gerekan masyarakat untuk memberi batasan dan arti esensial kepahlawanan. Bahwa batasan untuk pahlawan bukan domain pemerintah saja, tetapi didukung rakyat," kata Kariadi.
Dia mencontohkan seorang Jokowi dan Ahok pun bisa menjadi pahlawan. "Dia rela berkorban untuk rakyat. Rela tidak mengambil gaji. Dalam bahasa islamnya, dia telah mewakafkan diri, karena rela berkoban untuk orang lain. Dalam konteks saat ini, susah mencari pemimpin yang rela berkorban, yang banyak justru beradu mengambil untuk kepentingan pribadi," kata Kariadi.
Merespons Kariadi, Amsar A Dulmanan mengatakan tidak setuju jika sesorang berbuat baik langsung dianggap sebagai pahlawan. "Kalau seseorang berkoban demi orang lain, biarkan saja dengan diam. Jangan sampai diungkapkan, sebab begitu saja diungkap, itu sudah ria. Sudah ada kepentingan politik," ujar Amsar.