Menkoinfo Disarankan Buat Regulasi Ketat Penggunaan Frekuensi
Para investor asing diduga penguasa frekuensi seluler di Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Para investor asing diduga penguasa frekuensi seluler di Indonesia. Hal ini diindikasikan melalui kepemilikan yang dominan di sejumlah operator, sehingga menjurus kepada praktik oligopoli.
Dalam teori persaingan usaha, oligopoli adalah kondisi pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya, jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
"Terjadi oligopoli frekuensi telekomunikasi di Indonesia saat ini. Sebagiannya adalah oleh perusahaan asing," ungkap Ketua Komisi I DPR, RI Mahfudz Siddiq saat dihubungi, Jumat (21/6/2013) kemarin.
Politisi PKS ini kemudian menyarankan, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk melihat sektor telekomunikasi sebagai hal strategis, berdimensi keamanan nasional. " Dan diperlukan regulasi ketat dan proteksi terhadap penggunaan frekuensi. Jangan sampai, pendekatannya murni dalam bentuk bisnis korporasi," katanya.
Sebelumnya, marak beredar kabar Axiata tengah membidik saham dari Axis melalui anak usahanya di Indonesia, XL Axiata. Hal ini menyebabkan, kondisi pasar Indonesia yang terlalu banyak pemain menjadikan masalah frekuensi sebagai salah satu alat persaingan di masa depan .Sehingga aksi korporasi layak dilakukan Axiata demi mengembangkan XL di Indonesia.
Axis sebagai operator kelima terbesar di Indonesia sahamnya dikuasai oleh Saudi Telecom Company (STC) dari Arab Saudi dan Maxis dari Malaysia. XL sahamnya dikuasai oleh Axiata dari Malaysia.
Selain dua operator ini, Telkomsel juga memiliki sahamnya 35 persen yang dikuasai SingTel dari Singapura. Sementara Indosat dikuasai sebagian oleh Qatar Telecom atau Ooredoo, kemudian Hutchison Tri Indonesia sebagian dikuasai oleh Hutchison dari Hong Kong.