Mantan Hakim Konstitusi Minta MKD Usut Dugaan Pelanggaran Etik Asrul Sani
Anggota DPR RI diminta tidak melakukan tindakan indisipliner, terutama "menjual" jabatannya demi kepentingan pribadi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI diminta tidak melakukan tindakan indisipliner, terutama "menjual" jabatannya demi kepentingan pribadi.
Permintaan tersebut diutarakan mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Ahmad Syarifuddin Natabaya, untuk menanggapi dugaan pelanggaran etik yang dilakukan anggota DPR, Asrul Sani.
Legislator asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu diduga melakukan pelanggaran etik ketika persidangan pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Untuk diketahui, Asrul Sani dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, karena diduga melakukan tindakan tidak etis ketika menghadiri sidang di PTUN Jakarta.
Ia menghadiri sidang mewakili tergugat intervensi yakni PPP kubu Romahurmuziy (Romi), dalam sidang gugatan yang diajukan PPP kubu Djan Faridz.
"Dia memiliki hak saat bertindak di DPR, baik mengeluarkan kebijakan atau proses pelembagaan undang-undang. Tapi, kalau dia mewakili DPR memberikan keterangan dalam proses persidangan, dia harus menyampaikan pandangan DPR, bukan pribadi," tegas Natabaya.
Ia menjelaskan, dalam memberikan keterangan di persidangan perkara hukum, tidak boleh ada "bumbu" kepentingan pribadi.
"Sebagai anggota DPR, dia harus memberikan keterangan selayaknya legislator, jangan dibumbui kepentingan pribadi. Kalau yang terjadi sebaliknya, akan ada conflict of interest. Jika itu memang terjadi, harus ditegur oleh DPR," tuturnya.
Natabaya menilai, adalah hal wajar ada laporan dugaan pelanggaran kode etik Asrul yang disampaikan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR,.
"Nah, proses selanjutnya menjadi tanggung jawab MKD untuk membuktikan, apakah Asrul salah atau benar. MKD ada tata cara, gugatan, serahkan ke proses yang ada. Apakah perbuatannya dicampuri kepentingan dia atau tidak," terangnya.
Secara terpisah, pengacara PPP, Andika, mengatakan, Asrul diduga sudah kali kedua melakukan pelanggaran kode etik.
"Sebelum dugaan pelanggaran kode etik dalam sidang PTUN, ia juga diduga menjual pengaruh anggota DPR Komisi III yang sedang melakukan revisi UU Kehakiman," ungkapnya.
Andika mengakui telah mengadukan hal ini ke KPK dan MKD agar turun tangan mengawasi jalannya persidangan PTUN Jakarta.